Minggu, 17 Oktober 2021

AUTOKORELASI SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN MENJADI PERUMAHAN DI KOTA PADANG PANJANG

 

ABSTRAK

Autokorelasi spasial merupakan salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar lokasi (amatan). Pada penyebaran perubahan penggunaan lahan di Kota Padang Panjang, metode ini akan memberikan informasi penting dalam menganalisis hubungan karakteristik perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi perumahan antar wilayah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis autokorelasi spasial pada data perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi perumahan di Kota Padang Panjang. Metode yang digunakan adalah uji moran’s I dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui uji moran’s I tidak terdapat autokorelasi spasial pada perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi perumahan di Kota Padang Panjang pada tahun 2019. Sementara itu melalui LISA, disimpulkan bahwa terdapat pengelompokan kelurahan yang tidak signifikan.

 

Kata kunci : Autokorelasi spasial, moran’s I, LISA, perubahan

 

PENDAHULUAN

Hukum Geografi yang dikemukan oleh Tobler menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh. Pada data spasial, seringkali pengamatan di suatu lokasi bergantung pada pengamatan di lokasi lain yang berdekatan.

Autokorelasi spasial adalah salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar lokasi yang diamati. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam autokorelasi adalah Moran’s I, Rasio Geary’s, dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Dengan menggunakan metode-metode ini  akan diperoleh informasi mengenai pola penyebaran karakteristik suatu wilayah dan keterkaitan antar lokasi di dalamnya dan metode ini dapat digunakan untuk identifikasi pemodelan spasial.

Berdasarkan data Kantor Pertanahan Kota Padang Panjang pada tahun 2016 dan 2010 terjadi penurunan jumlah lahan sawah sebanyak 42,5 Ha, sedangkan pemukiman mengalami peningkatan 52,9 Ha. Fenomena ini menunjukan tinggi angka konversi lahan pertanian menjadi penggunaan lain.

Berdasarkan  kajian  teori dan permasalahan yang ada, pada penelitian ini dilakukan analisis autokorelasi spasial untuk mengetahui hubungan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman antar lokasi di Kota Padang Panjang.

METODOLOGI PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta penggunaan tanah tahun 2010 dan 2019 serta peta administrasi Kota Padang Panjang, dari peta tersebut akan diperoleh peta perubahan penggunaan tanah pertanian menjadi pemukiman pada masing-masing kelurahan.

Peta perbahan penggunaan tanah pertanian menjadi pemukiman pada masing-masing kelurahan ini yang akan dilihat autokorelasinya, apakah perubahan penggunaan lahan ini antar daerah ada kaitannya.

Autokorelasi spasial adalah taksiran dari korelasi antar nilai amatan yang berkaitan dengan lokasi spasial pada variabel yang sama. Autokorelasi spasial positif menunjukkan adanya kemiripan nilai dari lokasi-lokasi yang berdekatan dan cenderung berkelompok. Sedangkan autokorerasi spasial yang negatif menunjukkan bahwa lokasi-lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar.

Karakteristik dari autokorelasi spasial yang diungkapkan oleh Kosfeld, yaitu:

1.     Jika terdapat pola sistematis pada distribusi spasial dari variabel yang diamati, maka terdapat autokorelais spasial.

2.      Jika kedekatan atau ketetanggaan antar daerah lebih dekat, maka dapat dikatakan ada autokorelasi spasial positif.

3.      Autokorelasi spasial negatif menggambarkan pola ketetanggaan yang tidak simetris.

4.      Pola acak dari data spasial menunjukkan tidak ada autokorelasi spasial

Pengukuran autokorelasi spasial untuk data spasial dapat dihitung menggunakan metode Moran’s index (Indeks Moran), Rasio Geary’s, dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA).

Indeks Moran’s

Indeks Moran (Moran’s I) merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial secara global. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial. Keacakan spasial ini dapat mengindikasikan adanya pola-pola yang mengelompok atau membentuk trend terhadap ruang. Menurut Kosfeld, perhitungan autokorelasi spasial dengan metode Indeks Moran dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1.      Indeks Moran dengan matriks pembobot spasial tak terstandarisasi

  


Dengan  

 elemen pada pembobot tak terstandarisasi antara daerah i dan j

2.      Indeks Moran dengan matriks pembobo spasial terstandarisasi W

Dengan: I        : Indeks Moran

              n        : banyaknya lokasi kejadian

                   : nilai pada lokasi ke i

                     : nilai pada lokasi ke j

                      : rata-rata dari jumlah variabel atau nilai

      : elemen pada pembobot terstandarisasi antara daerah i dan j

Rentang nilai dari Indeks Moran’s dalam kasus matriks pembobot spasial terstandarisasi adalah -1 ≤ I ≤ 1. Nilai -1 ≤ I < 0 menunjukkan adanya autokorelasi spasial negatif, sedangkan nilai 0 < I ≤ 1 menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, nilai Indeks Moran’s bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok. Nilai Indeks Moran tidak menjamin ketepatan pengukuran jika matriks pembobot yang digunakan adalah pembobot tak terstandarisasi. Untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial atau tidak, dilakukan uji signifikansi Indeks Moran.

Uji hipotesis untuk Indeks Moran adalah sebagai berikut:

a.       Hipotesis

H0 : Tidak ada autokorelasi spasial

H1 : Terdapat autokorelasi spasial

b.      Tingkat Signifikansi

α

c.       Statistik uji

Dengan  


d.      Kriteria uji

Tolak H0 pada taraf signifikansi α jika  dengan adalah (1-α) kuantil dari l standar. Nilai dari indeks I adalah antara -1 dan 1. Apabila I > Io, data memiliki autokorelasi positif. Jika I < Io, data memiliki autokorelasi negatif

Moran’s scatterplot

Moran’s Scatterplot menunjukan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi yang distandarisasi dengan rata-rata nilai amatan pada lokasi yang bertetanggan dengan lokasi yang bersangkutan. Moran’s Scatterplot berupa diagram scatterplot yang terdiri dari empat kuadran. Setiap kuadran menunjukan pola hubungan spasial antar lokasi yaitu Low-Low (LL), Low-High (LH), High-Low (HL), dan High-High (HH). LL menunjukan bahwa lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. LH menunjukan bahwa lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. HL menunjukkan lokasi yang mmepunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah. Dan HH menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mepunyai nilai amatan tinggi. Gambar dibawah ini menunjukan Moran’s Scatterplot :


LISA (Local Indicator of Spasial Autocorrelation)

Moran’s I juga dapat digunakan untuk pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal (Local autocorrelation) atau korelasi spasial pada setiap daerah. Semakin tinggi nilai lokal Moran’s, memberikan informasi bahwa wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang hampir sama atau membentuk suatu penyebaran yang mengelompok. Identifikasi Moran’s I tersebut adalah Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA), yang indeksnya dinyatakan dalam persamaan berikut :

Dimana

Pengujian terhadap paarmeter Ii dapat dilakukan sebagai berikut:

a.       Hipotesis

H0  : Ii = 0 ( tidak ada autokorelasi antar lokasi)

H1 : Ii  ≠ 0 ( ada autokorelasi antar lokasi)

b.      Taraf signifikansi (α)

c.       Statistik uji

Variansi dari I0 adalah sebagai berikut: 


Dimana

 

d.      Kriteria Uji

Tolak H0 jika . Hubungan antara indeks Moran’s dengan LISA adalah sebagai berikut  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis dari perubahan lahan pertanian yang berubah menjadi lahan pemukiman dapat dilihat pada tabel 1. Pada Tabel tersebut dapat dilihat bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi pemukiman seluas 616.143 m2 atau 4,6 dari luas total lahan pertanian di tahun 2010.

Kelurahan Pasar Baru adalah wilayah yang mengalami persentase konversi lahan yang paling tinggi yaitu sebesar 46 % hal ini kemungkinan terjadi karena kelurahan pasar baru adalah wilayah pusat perekonomian di Kota Padang Panjang sehingga banyak lahan pertaniannya terkonversi menjadi penggunaan lain terutama untuk pemukiman.

Kelurahan Bukit Surungan juga mengalami persentase konversi lahan pertanian menjadi pemukiman yang cukup tinggi yaitu sebesar 21,2 %, hal ini dimungkinkan terjadi karena beberapa  faktor yaitu di kelurahan bukit surungan terdapat terminal bus dan pasar khusus komoditi hortikultura

Selain dua kelurahan tadi persentase konversi lahan pertanian menjadi pemukiman yang tinggi juga terjadi di kelurahan silaing bawah sebesar 11,8 %, kelurahan kampung manggis 10,8 % dan kelurahan koto panjang 10,5 %. Pada ketiga wilayah tersebut terdapat komplek-komplek perumahan baru yang mengkonversi lahan pertanian.

Tabel.1. Luas Perubahan lahan pertanian menjadi perumahan tahun 2010-2019

No

Kelurahan

Luas lahan pertanian 2010 (m2)

Luas Perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman(m2)

%

1

Kel. Balai Balai

                                       63,294

                                4,651

7.3

2

Kel. Bukit Surungan

                                     711,535

                            150,631

21.2

3

Kel. Ekor Lubuk

                                 1,982,873

                                4,231

0.2

4

Kel. Ganting

                                 2,997,215

                                8,002

0.3

5

Kel. Guguk Malintang

                                     897,082

                              78,503

8.8

6

Kel. Kampung Manggis

                                     911,129

                              98,024

10.8

7

Kel. Koto Katiak

                                     318,335

                              12,128

3.8

8

Kel. Koto Panjang

                                     476,960

                              49,874

10.5

9

Kel. Ngalau

                                 1,494,159

                              29,415

2.0

10

Kel. Pasar Baru

                                         1,360

                                    626

46.0

11

Kel. Pasar Usang

                                     535,138

                              50,210

9.4

12

Kel. Sigando

                                 1,530,910

                                3,080

0.2

13

Kel. Silaing Atas

                                     503,267

                              10,721

2.1

14

Kel. Silaing Bawah

                                     898,767

                            105,647

11.8

15

Kel. Tanah Hitam

                                     134,363

                                6,489

4.8

16

Kel. Tanah Paklambiak

                                       44,393

                                3,911

8.8

 

Jumlah

                               13,500,782

                            616,143

 

 

Nilai Moran’s I

Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi spasial dengan Moran’s I (Gambar.1) dengan kriteria pengujian yaitu tolak H0 pada taraf signifikasi α jika Z(I) > Z1- α . Dengan menggunakan taraf signifikansi 95% maka diperoleh nilai Z1-α = Z0,95 = 1,645 sehingga diketahui bahwa nilai Z(I) = 0,663329 < Z1- α = 1,645, maka keputusannya gagal tolak H0 , artinya tidak terdapat autokorelasi spasial pada luas perubahan penggunaan lahan sawah menjadi pemukiman pada satu kelurahan dan kelurahan  lain di Kota Padang Panjang. Namun nilai statistik Moran’s I sebesar 0,054973 berada rentang 0 < I ≤ 1 yang artinya menunjukkan adanya pola autokorelasi spasial positif.

 


Gambar 2 merupakan Moran’s scatterplot yang menunjukkan pola luas perubahan penggunaan lahan sawah menjadi pemukiman pada satu kelurahan dan kelurahan lain di Kota Padang Panjang.

Gambar 2. Moran’s scatterplot

Tabel 2 menunjukkan hasil Moran’s Scatterplot untuk kasus perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman di Kota Padang Panjang. Kuadran I (High-High) dengan wilayah Kelurahan Pasar Usang, Kelurahan Guguk Malintang, Kelurahan Silaing Bawah, Keluarahan Bukit Surungan merupakan wilayah dengan sifat autokorelasi spasial yang tinggi dan dikelilingi oleh wilayah sekitarnya yang mempunayi autokorelasi spasial yang tinggi pula.

Tabel 2 Hasil Moran’s Scatterplot

 

Kuadran I (HH)

Kelurahan Pasar Usang, Kelurahan Guguk Malintang, Kelurahan Silaing Bawah, Keluarahan Bukit Surungan

Kuadran II (LH)

Kelurahan Tanah Hitam, Kelurahan Pasar Baru, Keluarahan Silaing Atas

Kuadran III (LL)

 

Keluarahan Ngalau, Kelurahan Ekor Lubuk, Kelurahan Sigando, Kelurahan Koto Katiak, Kelurahan Gantiang, Kelurahan Tanah Paklambiak, Kelurahan Balai Balai

Kuadran IV (HL)

Kelurahan Kampung Manggis, Kelurahan Koto Panjang

 

Nilai Local Indicator of Spasial Autocorrelation (LISA)

Untuk mengetahui signifikansi autokorelasi spasial secara lokal adalah melalui LISA. Dari pengujian ini akan didapatkan signifikansi secara lokal pada masing-masing kabupaten/kota.

Tabel 3 menunjukkan nilai moran’s I lokal dan value pengujian LISA. Dapat diketahui bahwa Kelurahan Silaing Atas mempunyai moran’s I tertinggi yaitu sebesar 0,0018, berdasarkan nilai dari P value semua kelurahan tidak mempunyai efek autokorelasi dengan wiayah lainnya.

Tabel 3 nilai indeks LISA pada setiap wilayah

No

Kelurahan

LISA

Pvalue

1

Kel. Tanah Hitam                                 

-0.000817

0.503

2

Kel. Silaing Bawah                               

0.000775

0.332

3

Kel. Ekor Lubuk                                  

0.000111

0.820

4

Kel. Ngalau                                       

0.000340

0.694

5

Kel. Ganting                                     

0.000208

0.746

6

Kel. Kampung Manggis                             

0.000696

0.400

7

Kel. Silaing Atas                                

-0.001849

0.136

8

Kel. Tanah Paklambiak                             

0.001328

0.320

9

Kel. Balai Balai                                 

0.000525

0.762

10

Kel. Koto Katiak                                 

0.000254

0.750

11

Kel. Bukit Surungan                              

-0.000849

0.760

12

Kel. Sigando                                     

0.000332

0.540

13

Kel. Guguk Malintang                             

0.000439

0.654

14

Kel. Koto Panjang                                

-0.000433

0.850

15

Kel. Pasar Usang                                  

0.000006

0.847

16

Kel. Pasar Baru                                  

-0.000021

0.885

 

KESIMPULAN

1. terjadi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi pemukiman seluas 616.143 m2 atau 4,6 dari luas total lahan pertanian di tahun 2010

2. Angka moran’s I adalah sebesar 0,0549 dan tidak menunjukkan adanya autokorelasi spasial (tidak ada hubungan antara lokasi yang satu dengan yang lain). Sementara dengan LISA, didapat kesimpulan bahwa antara satu kelurahan dengan kelurahan tidak mempunyai efek autokorelasi signifikan terhadap perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Wuryandari, Triastuti. 2014. identifikasi autokorelasi spasial pada jumlah pengangguran di jawa tengah menggunakan indeks moran. Media Statistika, Vol. 7, No. 1, Juni 2014: 1-10.

2.      Dwi Bekti, Rokhana. 2012. Autokorelasi Spasial untuk Identifikasi Pola Hubungan Kemiskinan di Jawa Timur. ComTech Vol.3, No.1, Hal:217-227.

TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN