Selasa, 04 Januari 2022

Sejarah Reforma Agraria

Sejarah Reforma Agraria

Agraria sering dimaknai sebatas pertanian saja, bahkan lebih sempit lagi tanah pertanian, secara etimologi kata agraria berasal dari bahasa Latin “ager” (lapangan, pedusunan, wilayah, tanah negara).  Mirip dengan kata itu adalah “agger” (tanggul penahan, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, bukit). Dari pengertian itu jelas bahwa istilah “agraria” mencakupi  bukan saja tanah atau pertanian melainkan juga hal-hal yang lebih luas (pedusunan, wilayah, bukit) dimana terdapat tanaman, air, sungai, hewan, mineral dan bahan tambang (mine) dan komunitas manusia.  

I. Yunani kuno

Reforma agraria muncul pertama kalinya di Yunani Kuno, muncul ketika Pemerintahan Solon (594 SM),  Solon adalah tokoh yang berusaha membentuk pemerintahan demokrasi, walaupun dianggap gagal. Setelah kurang lebih 90 tahun kemudian, tepatnya 508 SM Cleisthenes seorang demokrat berhasil membentuk pemerintah oleh rakyat, yang menjadikan Athena dianggap sebagai negara demokrasi yang pertama di dunia

Solon berupaya membentuk pemerintah demokrasi dan berhasil melahirkan undang-undang yang dikenal dengan Siesachtheia (mengocok beban), beban yang dimaksud meliputi berbagai hubungan yang tidak serasi atau tidak adil antara pemerintah dengan para penguasa wilayah, antara para penguasa wilayah dengan para pengguna bagian-bagian dari wilayah, antara para pengguna tanah dengan para pekerja (penggarap) tanah, antara pemilik ternak dengan para pekerja (penggembala) dan sebagainya. Hubungan yang tidak serasi itu antara lain pembagian keuntungan hasil kerja, pajak, perburuhan dan lain-lainnya. Undang undang ini bertujuan untuk membebaskan para hektamor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari hutang sekaligus membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian. 

Melalui proses panjang (kurang lebih 200 tahun), dalam  masyarakat pedesaan di Yunani terjadi proses perbudakan. Karena tuntutan keadaan  negara yaitu peningkatan produksi dan penggunaan uang, para petani kecil terpaksa meminjam uang kepada yang kaya dengan cara menggadaikan tanahnya. Kemudian, agar bisa mengembalikan hutangnya dan menebus tanahnya, si penggadai itu lalu bekerja sebagai penyakap di tanah gadaian itu (bekas tanahnya sendiri), dengan bagi hasil sebesar seperenam. Hubungan kerja ini disebut hektemoroi. Orangnya yaitu petani miskin yang menjadi penyakap itu disebut hektemor. Karena ternyata dengan pendapatan sebesar itu mereka tidak mampu menebus kembali tanahnya atau mengembalikan hutangnya, lama kelamaan mereka menjadi seperti budak.

Ketika kondisi hektemor semakin parah, timbul gejala bahwa mereka akan berontak. Para petani kaya mendesak kepada Solon agar mencegah jangan sampai terjadi pemberontakan. Sebaliknya para hektemor mengharap agar keluhan mereka tentang berat beban hutang itu didengar. Sementara itu, masyarakat umum juga mengharap agar Solon tetap menjaga stabilitas, jangan sampai terjadi revolusi. Solon berusaha mengakomodasi semua kepentingan yang berbeda itu.

Undang-undang baru itu tidak sepenuhnya memuaskan semua pihak. Pihak yang kaya kecewa, karena hutang para hektemor itu di-”pusokan”, disis lain para hektemor kecewa karena meskipun dibebaskan dari hutang, dan  statusnya direhabilitasi (tidak lagi sebagai budak), tetapi tanahnya tidak kembali, karena tidak ada program redistribusi. Tanah tersebut memang  dibebaskan, tetapi tidak ada catatan  sejarah yang jelas, ke mana tanah tersebut diperuntukkan. Masyarakat umum  juga kecewa, karena meskipun pemberontakan dapat dihindarkan namun stabilitas politik terganggu, dan akhirnya pemerintahan Solon pun jatuh.

Tiga puluh tahun kemudian, Pisistratus, seorang pemimpin baru, melanjutkan usaha Solon melakukan Reforma Agraria dengan cara yang lebih maju, yaitu melalui program redis- tribusi: land-to-the-tiller dan land-to-thelandless. Petani kecil juga diberi fasilitas perkreditan. Jangka waktu pelaksanaan undang- undang Pisistratus in tidak jelas tercatat dalam sejarah. Pemerintahan Demokratis yang dirintis Solon gagal, karena sesudah pemerintahan Pisistratus yang lahir justru diktator-diktator yang saling menjatuhkan, dan barulah setelah Cleisthenes berkuasa (sekitar 508 SM) terbentuk suatu pemerintahan demokratis. 

II. Romawi Kuno

Pada waktu pemerintahan romawi keturunan para pendiri negara (disebut dengan patricia / bangsawan) berusaha mempertahankan hak turun-temurun atas wilayah-wilayah tertentu yang sejak dulu telah dimanfaatkan oleh leluhur mereka. Pemerintahan Romawi berkembang antara lain melalui penaklukan wilayah sekitarnya sehingga wilayahnya semakin luas, dampaknya muncul klas sosial baru, yakni para warga negara baru yang bukan orang asli Romawi, ini disebut plebian.  Kaum  plebian membutuhkan sumber kehidupan baru terutama tanah,  karena hal ini Spurius Cassius, seorang anggota konsul, memprakarsai lahirnya undang-undang agraria (Leges Agrariae) pertama kalinya di republik Romawi 489 SM. Sebagian besar kaum patricia menentang keras undang-undang ini.

Kurang lebih dua puluh tahun kemudian lahirlah undang-undang agraria baru yang diprakarsai oleh Licinius Stolo, terjadi perdebatan selama lima tahun sebelum undang-undang baru ini disahkan. Undang-undang ini menetapkan bahwa setiap warga negara Romawi memperoleh hak memanfaatkan sebagian dari wilayah negara seluas tidak lebih dari lima ratus iugera (lebih kurang 130 Ha). Hamparan  tanah seluas itu bukan berupa satuan usaha tani saja melainkan bisa terdiri atas hutan perburuan, padang penggembalaan ternak dan sebagainya.  

Pelaksanaan undang-undang Licinius tidak berlangsung mulus, antara lain karena peperangan dengan Yunani dan Prancis.  Kesempatan ini digunakan oleh kaum patricia, orang-orang  kaya, militer dan para veteran perang untuk menguasai tanah-tanah luas melebihi batas lima ratus iugera.  Hal ini menyebabkan terjadinya proses akumulasi penguasaan wilayah oleh kelompok-kelompok elite, ini berlangsung selama hampir dua abad.

Sesudah hampir dua ratus tahun  undang-undang Licinius seakan-akan masuk dalam peti es, Tiberius Gracchus, seorang anggota parlemen berhasil memperjuangkan lahirnya undang-undang agraria baru yang bertujuan menyelaraskan kembali ketentuan-ketentuan dalam undang-undang sebelumnya, yakni ditetapkan batas maksimum lima ratus iugera.  Selain itu ditambahkan bahwa setiap anak lelaki dewasa dalam keluarga diperbolehkan menguasai dua ratus lima puluh iugera sepanjang total penguasaan dalam satu keluarga tidak melebihi seribu iugera. Tapi undang-undang baru ini juga tidak terlaksana, bahkan Tiberius dibunuh.  Sepuluh tahun kemudian adiknya, Gaius Gracchus, berusaha melanjutkan langkah pembaruan sang kakak, namun diapun dibunuh juga. 

III. Inggris

Di Inggris muncul gerakan “enclosure movement” yaitu proses pengaplingan tanah-tanah pertanian dan padang pengembalaan yang dulunya adalah tanah yang disewakan oleh  umum, menjadi tanah-tanah individual.

 

IV.  Prancis

Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat Revolusi Perancis (1789) dengan  menghancurkan sistem penguasaan tanah feodal.Tanah dibagikan kepada petani dengan tujuan utamanya adalah membebaskan petani dari perbudakan dan melembagakan usaha tani keluarga yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal. Gerakan ini berpengaruh luas ke seluruh Eropa. Pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan (tenancy).

V. Bulgaria

Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh, mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani. 

VI. Rusia

Pada tahun 1906-1911 di Rusia lahir pembaharuan gaya baru yang dikenal dengan Stolypin Reform. Ciri dari gerakan ini adalah menghapus tanah kepemilikan pribadi, melarang (sewa, bagi hasil, gadai), hak dan luas garapan di sesuaikan dengan kemampuan petani dan melarang mengunakan buruh upahan. Lenin kemudian mencetuskan istilah landreform dan banyak di adopsi dan digunakan di negara komunis atau Blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller” (tanah ke penggarap) gunanya untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis.

VII. Cina

Kemudian reforma agraria menjangkau  Cina melalui 3 (tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah menata kembali struktur penguasaan tanah. Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi milik Negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut. Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan tabungan perdesaan.

VIII. Pasca PD II

Pasca perang dunia II reforma agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Pada tahun 1950-1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing-masing negara memiliki cirinya masing-masing. Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika.

Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an. Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih, program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan tanah.

Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan pembangunannya. Namun demikian, tidak semua negara berhasil melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.

Pada bulan Juli 1979 dilaksanakan konferensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma. Konferensi ini menjadi tonggak penting karena menghasilkan deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants’ charter/Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia, serta reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.

 

DAFTAR PUSTAKA

Oswar Mungkasa (2014).Reforma Agraria Sejarah, Konsep dan Implementasinya. Buletin Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

 https://akar.or.id/pengantar-politik-agraria-memahami-peta-jalan-menuju-keadilan-agraria/

https://binadesa.org/konsep-umum-istilah-dan-sejarah-reforma-agraria-1/

https://123dok.com/article/tonggak-tonggak-sejarah-reforma-agraria-perjalanan-berakhir.zkxjo94y

 

TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN