Sejarah Reforma Agraria
Agraria sering
dimaknai sebatas pertanian saja, bahkan lebih sempit lagi tanah pertanian,
secara etimologi kata agraria berasal dari bahasa Latin “ager” (lapangan,
pedusunan, wilayah, tanah negara). Mirip dengan kata itu adalah “agger” (tanggul
penahan, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, bukit). Dari
pengertian itu jelas bahwa istilah “agraria” mencakupi
bukan saja tanah atau pertanian melainkan juga hal-hal yang lebih luas
(pedusunan, wilayah, bukit) dimana terdapat tanaman, air, sungai, hewan,
mineral dan bahan tambang (mine) dan komunitas manusia.
I.
Yunani kuno
Reforma
agraria muncul pertama kalinya di Yunani Kuno, muncul ketika Pemerintahan Solon (594
SM), Solon adalah tokoh yang berusaha
membentuk pemerintahan demokrasi, walaupun dianggap
gagal. Setelah kurang lebih 90 tahun kemudian, tepatnya 508 SM Cleisthenes seorang demokrat berhasil
membentuk pemerintah oleh rakyat, yang menjadikan Athena dianggap sebagai
negara demokrasi yang pertama di dunia
Solon
berupaya membentuk pemerintah demokrasi dan berhasil melahirkan undang-undang
yang dikenal dengan Siesachtheia
(mengocok beban), beban yang
dimaksud meliputi berbagai hubungan yang tidak serasi atau tidak adil antara
pemerintah dengan para penguasa wilayah, antara para penguasa wilayah dengan
para pengguna bagian-bagian dari wilayah, antara para pengguna tanah dengan
para pekerja (penggarap) tanah, antara pemilik ternak dengan para pekerja
(penggembala) dan sebagainya. Hubungan yang tidak serasi itu antara lain
pembagian keuntungan hasil kerja, pajak, perburuhan dan lain-lainnya. Undang
undang ini bertujuan untuk membebaskan para hektamor (petani
miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya
sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari hutang sekaligus
membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian.
Melalui
proses panjang (kurang lebih 200 tahun), dalam masyarakat pedesaan di Yunani terjadi proses
perbudakan. Karena tuntutan keadaan negara yaitu peningkatan produksi dan
penggunaan uang, para petani kecil terpaksa meminjam uang kepada yang kaya
dengan cara menggadaikan tanahnya. Kemudian, agar bisa mengembalikan hutangnya
dan menebus tanahnya, si penggadai itu lalu bekerja sebagai penyakap di tanah
gadaian itu (bekas tanahnya sendiri), dengan bagi hasil sebesar seperenam.
Hubungan kerja ini disebut hektemoroi. Orangnya
yaitu petani miskin yang menjadi penyakap itu disebut hektemor. Karena ternyata
dengan pendapatan sebesar itu mereka tidak mampu menebus kembali tanahnya atau
mengembalikan hutangnya, lama kelamaan mereka menjadi seperti budak.
Ketika
kondisi hektemor semakin parah, timbul gejala bahwa mereka akan berontak. Para
petani kaya mendesak kepada Solon agar mencegah jangan sampai terjadi
pemberontakan. Sebaliknya para hektemor mengharap agar keluhan mereka tentang
berat beban hutang itu didengar. Sementara itu, masyarakat umum juga mengharap
agar Solon tetap menjaga stabilitas, jangan sampai terjadi revolusi. Solon
berusaha mengakomodasi semua kepentingan yang berbeda itu.
Undang-undang
baru itu tidak sepenuhnya memuaskan semua pihak. Pihak yang kaya kecewa, karena
hutang para hektemor itu di-”pusokan”, disis lain para hektemor kecewa karena
meskipun dibebaskan dari hutang, dan statusnya
direhabilitasi (tidak lagi sebagai budak), tetapi tanahnya tidak kembali,
karena tidak ada program redistribusi. Tanah tersebut memang dibebaskan,
tetapi tidak ada catatan sejarah yang
jelas, ke mana tanah tersebut diperuntukkan. Masyarakat umum juga kecewa, karena meskipun pemberontakan
dapat dihindarkan namun stabilitas politik terganggu, dan akhirnya pemerintahan
Solon pun jatuh.
Tiga
puluh tahun kemudian, Pisistratus,
seorang pemimpin baru, melanjutkan usaha Solon melakukan Reforma Agraria dengan
cara yang lebih maju, yaitu melalui program redis- tribusi: land-to-the-tiller dan land-to-thelandless.
Petani kecil juga diberi fasilitas perkreditan. Jangka waktu pelaksanaan
undang- undang Pisistratus in tidak jelas tercatat dalam sejarah. Pemerintahan
Demokratis yang dirintis Solon gagal, karena sesudah pemerintahan Pisistratus
yang lahir justru diktator-diktator yang saling menjatuhkan, dan barulah
setelah Cleisthenes berkuasa
(sekitar 508 SM) terbentuk suatu pemerintahan demokratis.
II. Romawi Kuno
Pada waktu pemerintahan romawi keturunan para pendiri negara (disebut
dengan patricia / bangsawan) berusaha mempertahankan hak
turun-temurun atas wilayah-wilayah tertentu yang sejak dulu telah dimanfaatkan
oleh leluhur mereka. Pemerintahan Romawi berkembang antara lain melalui
penaklukan wilayah sekitarnya sehingga wilayahnya semakin luas, dampaknya
muncul klas sosial baru, yakni para warga negara baru yang bukan orang asli
Romawi, ini disebut plebian.
Kaum plebian membutuhkan sumber
kehidupan baru terutama tanah, karena
hal ini Spurius Cassius, seorang
anggota konsul, memprakarsai lahirnya undang-undang agraria (Leges Agrariae)
pertama kalinya di republik Romawi 489 SM. Sebagian besar kaum patricia
menentang keras undang-undang ini.
Kurang
lebih dua puluh tahun kemudian lahirlah undang-undang agraria baru yang
diprakarsai oleh Licinius Stolo, terjadi perdebatan selama lima
tahun sebelum undang-undang baru ini disahkan. Undang-undang ini menetapkan
bahwa setiap warga negara Romawi memperoleh hak memanfaatkan sebagian dari
wilayah negara seluas tidak lebih dari lima ratus iugera (lebih kurang 130 Ha).
Hamparan tanah seluas itu bukan berupa
satuan usaha tani saja melainkan bisa terdiri atas hutan perburuan, padang
penggembalaan ternak dan sebagainya.
Pelaksanaan
undang-undang Licinius tidak berlangsung mulus, antara lain karena peperangan
dengan Yunani dan Prancis. Kesempatan ini digunakan oleh kaum patricia,
orang-orang kaya, militer dan para
veteran perang untuk menguasai tanah-tanah luas melebihi batas lima ratus iugera.
Hal ini menyebabkan terjadinya proses akumulasi penguasaan wilayah oleh
kelompok-kelompok elite, ini berlangsung selama hampir dua abad.
Sesudah
hampir dua ratus tahun undang-undang
Licinius seakan-akan masuk dalam peti es, Tiberius Gracchus, seorang
anggota parlemen berhasil memperjuangkan lahirnya undang-undang agraria baru
yang bertujuan menyelaraskan kembali ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
sebelumnya, yakni ditetapkan batas maksimum lima ratus iugera. Selain itu
ditambahkan bahwa setiap anak lelaki dewasa dalam keluarga diperbolehkan
menguasai dua ratus lima puluh iugera sepanjang total penguasaan dalam satu
keluarga tidak melebihi seribu iugera. Tapi undang-undang baru ini juga tidak
terlaksana, bahkan Tiberius dibunuh. Sepuluh tahun kemudian
adiknya, Gaius Gracchus, berusaha melanjutkan langkah pembaruan
sang kakak, namun diapun dibunuh juga.
III. Inggris
Di Inggris
muncul gerakan “enclosure movement” yaitu proses pengaplingan
tanah-tanah pertanian dan padang pengembalaan yang dulunya adalah tanah yang
disewakan oleh umum, menjadi tanah-tanah individual.
IV. Prancis
Gerakan
reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat Revolusi Perancis
(1789) dengan menghancurkan sistem
penguasaan tanah feodal.Tanah dibagikan kepada petani dengan tujuan utamanya
adalah membebaskan petani dari perbudakan dan melembagakan usaha tani keluarga
yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal. Gerakan ini berpengaruh luas ke
seluruh Eropa. Pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land
Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan
(tenancy).
V. Bulgaria
Bulgaria
relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh,
mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan
usaha tani.
VI. Rusia
Pada
tahun 1906-1911 di Rusia lahir pembaharuan gaya baru yang dikenal dengan Stolypin
Reform. Ciri dari gerakan ini adalah menghapus tanah kepemilikan
pribadi, melarang (sewa, bagi hasil, gadai), hak dan luas garapan di sesuaikan
dengan kemampuan petani dan melarang mengunakan buruh upahan. Lenin kemudian
mencetuskan istilah landreform dan banyak di adopsi dan
digunakan di negara komunis atau Blok timur pada saat itu dengan adagium “land
to the tiller” (tanah ke penggarap) gunanya untuk
memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk
kepentingan politis.
VII. Cina
Kemudian
reforma agraria menjangkau Cina melalui 3 (tiga) program
besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah menata kembali struktur
penguasaan tanah. Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah oleh Jepang
(1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang dan
mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan
kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi
milik Negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah
tersebut. Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan dominasi tuan
tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan tabungan
perdesaan.
VIII. Pasca PD II
Pasca
perang dunia II reforma agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Pada tahun 1950-1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan
masing-masing negara memiliki cirinya masing-masing. Salah satu negara
yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah Jepang. Tanah milik
para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan
kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi
Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika.
Salah
satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai
dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an. Namun
demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih, program
ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez memasukkan
reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga prinsip
kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan tanah.
Negara
Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang
didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami
oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur
pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai
landasan pembangunannya. Namun demikian, tidak semua negara berhasil
melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan menjadikan
tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.
Pada
bulan Juli 1979 dilaksanakan konferensi dunia mengenai Reforma Agraria dan
Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural
Development) yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture
Organization) PBB di Roma. Konferensi ini menjadi tonggak penting karena
menghasilkan deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants’ charter/Piagam
Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia, serta
reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang
yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di tingkat
nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat internasional,
mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.
DAFTAR PUSTAKA
Oswar
Mungkasa (2014).Reforma Agraria Sejarah, Konsep dan Implementasinya. Buletin
Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014
https://akar.or.id/pengantar-politik-agraria-memahami-peta-jalan-menuju-keadilan-agraria/
https://binadesa.org/konsep-umum-istilah-dan-sejarah-reforma-agraria-1/
https://123dok.com/article/tonggak-tonggak-sejarah-reforma-agraria-perjalanan-berakhir.zkxjo94y