Senin, 03 Oktober 2022

SEJARAH PANJANG UUPA (Menjadikan Tanah Sebesar Besarnya Untuk Kemakmuran Petani)

 

UUPA menjelaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Wewenang negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Perkembangan Indonesia sebagai negara agraris sangat ditentukan oleh keadilan dalam penguasaan lahan. UUPA telah detil memperhatikan hal tersebut, diantaranya diatur supaya tidak terjadi pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah serta menghindari monopoli swasta. UUPA juga sudah mengakomodir kesetaraan gender dan juga sudah memperhatikan pembangunan berkelanjutan.

Penyusunan UUPA melewati perjalanan yang cukup panjang, dimulai dari Panitia Agraria Yogya pada tahun 1948 dan baru pada tahun 1960 undang-undang ini disahkan. Berikut alur sejarah penyusunan UUPA:

1. Panitia Agraria Yogya (1948)

Dibentuk berdasarkan Surat Ketetapan Presiden No.16 tanggal 12 Mei 1948, tujuannya adalah untuk menyusun hukum agraria yang baru serta menetapkan kebijaksanaan politik agraria negara. Panitia ini yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo (saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri), tugasnya adalah:

·         Memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai hukum pertanahan

·         Merancang dasar-dasar hukum pertanahan

·         Merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama

·         Menyelidiki persoalan lain yang berhubungan dengan hukum tanah.

Anggota panitia ini adalah para pejabat utusan kementerian dan berbagai jawatan, wakil dari organisasi-organisasi petani yang juga tergabung sebagai anggota KNIP, wakil Serikat Buruh Perkebunan, serta para ahli hukum terutama hukum adat. Hasil kepanitiaan ini disampaikan kepada Presiden pada tanggal 3 Februari 1950, karena proses pemindahan kekuasaan negara menuju Jakarta, maka Panitia Agraria Yogya resmi dibubarkan pada tanggal 9 Maret 1951 oleh Soekarno. Pembubaran tersebut dikeluarkan melalui SK Presiden No. 36 tahun 1951.

Hasil kinerja dari Panitia Agraria Yogya berupa beberapa usulan, yaitu:

  1. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat
  2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat
  3. Diadakan penyelidikan mengenai peraturan-peraturan di negara lain untuk menentukan apakah orang asing dapat mempunyai hak milik atas tanah
  4. Diadakan penetapan luas minimum tanah bagi petani kecil agar memperoleh hidup yang patut 
  5. Penetapan luas maksimum 
  6. Skema hak-hak tanah berupa hak milik dan hak atas tanah kosong dari negara dan daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah orang lain 
  7. Diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting

2. Panitia Jakarta (1951)

Pembubaran Pantia Agraria Yogya dilakukan hanya untuk mengubah menjadi Panitia Agraria Jakarta karena proses pemindahan kekuasaan negara menuju Jakarta. Tugas utama dari panitia ini hampir sama dengan Panitia Agraria Yogya. Ketua panitia ini masih tetap Sarimin Reksodiharjo (tahun 1953 digantikan oleh Singgih Praptodihardjo).

Berdasarkan Keputusan Presiden pada tanggal 29 Maret 1955 No. 55 dibentuk Kementerian Agraria. Kementerian tersebut berada pada masa kabinet Ali Sastromidjojo I. Tugas utama dari kementerian ini adalah membentuk undang-undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal 25 ayat 1, pasal 37 ayat 1, dan pasal 38 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar Sementara.

Hasil Panitia Jakarta adalah sebagai berikut:

  1. Batas luas minimum adalah 2 hektar dan perlu dikaji lebih lanjut mengenai hubungan antara pembatasan minimum dengan hukum adat
  2. Pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga
  3. Penduduk Warga Negara Indonesia yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli
  4. Skema hak-hak tanah berupa hak milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai
  5. Diakuinya hak ulayat

3. Panitia Suwahyo (1956)

Panitia Agraria Jakarta dibubarkan karena dianggap tidak dapat menyusun Rancangan Undang-Undang Agraria, kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia 14 Januari 1956, No. 1 tahun 1956, dibentuk kembali Panitia Negara Urusan Agraria dengan ketuanya Soewahjo Soemodilogo (Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria). Anggota dari kepanitiaan adalah pejabat dari Kementerian dan Jawatan, para ahli hukum adat, serta wakil dari beberapa organisasi petani. Tugas pokok panitia ini adalah mempersiapkan rencana Undang-Undang Pokok Agraria.

Panitia ini menggunakan semua bahan yang sudah disusun oleh kedua panitia agraria sebelumnya. Panitia Negara Urusan Agraria ini juga disebut sebagai Panitia Soewahjo yang akhirnya berhasil membuat rancangan undang-undang pada tanggal 6 Februari 1958. Rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Agraria. Setelah itu panitia ini dibubarkan, karena tugasnya dianggap telah selesai. Pokok dari RUU hasil Panitia Soewahjo adalah:

  1. Asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara.
  2. Asas bawah tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya (Tidak disampaikan kepada DPR)
  3. Asas domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara
  4. Dihapuskannya dualisme Hukum Agraria
  5. Hak-hak atas tanah berupa hak milik, hak usaha, hak bangunan, dan hak pakai
  6. Hak milik hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia tanpa membedakan warga negara asli dan tidak asli, sedangkan badan hukum tidak boleh mempunyai hak milik
  7. Diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah
  8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

4. Rancangan Sunaryo (1958),

Beberapa pasal pada rancangan undang-undang yang dihasilkan Panitia Soewahjo kemudian dirumuskan ulang dan beberapa sistematika juga mengalami perubahan. Kemudian rancangan tersebut menjadi dokumen yang dikenal sebagai Rancangan Soenarjo. Rancangan ini kemudian diajukan oleh Menteri Agraria  Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 15 Maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya yang ke-94 akhirnya menyetujui rancangan tersebut pada 1 April 1958. Selanjutnya rancangan tersebut diajukan kepada DRP berdasarkan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.

Rancangan ini dibahas dalam beberapa tahap oleh DPR. Pada tanggal 16 Desember 1958 dalam sidang pleno DPR, Soenarjo menjawab pemandangan umum DPR terhadap rancangannya. DPR akhirnya memutuskan bahwa masih perlu dikumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap terkait rancangan tersebut. Kemudian dibentuk panitia adhoc dengan ketua AM. Tambunan.

Selanjutnya ketika Dekrit Presiden 1 Juli 1959 tentang pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dikeluarkan, maka Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria Soenarjo ditarik. Penarikan tersebut secara resmi dilakukan setelah keluarnya Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960. Rancangan Undang-Undang Agraria tersebut dianggap kurang cocok, karena masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai bahan acuan.

5. Rancangan Sadjarwo (1960),

Rancangan Sunaryo kemudian disesuaikan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta Manifesto Politik Indonesia. Setelah proses penyesuaian dan rancangan sudah menjadi lebih sempurna dan lengkap, maka rancangan tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ini dikenal sebagai Rancangan Sadjarwo. Rancangan tersebut akhirnya disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidang yang dilangsungkan pada tanggal 22 Juli 1960 dan disetujui pula oleh Kabinet  Pleno dalam persidangan yang diadakan pada tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal itu juga dikeluarkan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 No. 2584/HK/60 untuk mengajukan rancangan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Setelah pengajuan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, maka dilakukanlah berbagai tahapan, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, lalu dilanjutkan pembahasan dalam sidang-sidang komisi tertutup, kemudian pemandangan umum, dan terakhir pada sidang pleno yang diadakan tanggal 14 September 1960 akhirnya DPR-GR menerima rancangan tersebut dengan suara bulat. Bahkan semua golongan yang tergabung dalam DPR-GR baik itu Golongan Islam, Golongan Nasionalis, Golongan Komunis, dan Golongan Karya setuju dengan hal itu.

Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960, RUU yang sebelumnya sudah disetujui oleh DPR-GR, secara resmi disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebelumnya, pada 7 Januari 1960, disahkan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) yang bertujuan membentuk hubungan yang lebih adil antara pemilik tanah dan petani penyakap. Tujuan lahirnya UUPA adalah :

  1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk menciptakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
  2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
  3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Setelah diberlakukannya UUPA kemudian ditetapkan beberapa peraturan pelaksana diantaranya adalah Peperpu No. 56/1960 (UU Landreform) yang menetapkan pembatasan maksimal dan minimal penguasaan tanah pertanian. Kemudian untuk melaksanakan UU Landreform tersebut pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Salah satu roh utama dari UUPA adalah menghindari terjadinya pemusatan pemilikan tanah yang akan membuat banyak rakyat terutama petani yang hanya akan menjadi petani penggarap atau hanya jadi petani gurem yang memiliki lahan dibawah luas ekonomis. UU landreform telah mengatur batasan maksimum luas kepemilikan tanah bahkan untuk luas minimum pun akan diatur. Tapi hegemoni ini seakan mati suri saat pergantian pemerintahan, setelah puluhan tahun baru pada tahun 2016 dilahirkan peraturan pelaksana dari PP 224 tahun 1961 yaitu dengan adanya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian. Sungguh sebuah penantian yang teramat panjang untuk bisa melaksanakan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah, kalau kita belajar dari perkembangan reforma agraria dizaman romawi dan yunani kuno mungkin kita bisa memahami bagaimana perjuangan untuk menegakan keadilan agraria. Sebuah perjuangan yang sangat berat untuk bisa menghentikan pusaran penguasaan tanah para tuan-tuan tanah.

Setelah G 30S PKI reforma agraria sering dianggap arah “kiri”, ini tentu saja sangat merugikan tujuan mulia dari reforma agraria. Negara-negara yang notabenya bukan “kiri” telah berhasil memperkuat pertanian nasionalnya dengan melaksanakan reforma agraria seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia dan Thailand. Upaya mengarahkan reforma agraria dengan pembatasan pemilikan tanah sebagai kegiatan komunis membuat program ini dengan mudah untuk dipinggirkan. Setelah G30S PKI masyarakat menjadi ketakutan dengan hal berbau komunis, padahal UUPA sebagai dasar kebijakan ini merupakan produk hukum yang telah disetujui oleh semua pihak di parlemen, dimana terdapat unsur kaum nasionalis dan agamis juga selain komunis.

Tuan tanah tentu saja sangat terganggu dengan adanya reforma agraria karena ini akan mengancam penguasaan tanah mereka. Hal ini akan memunculkan upaya-upaya untuk menghalangi terlaksananya program tersebut. Petani yang sudah diamanahkan oleh UUPA untuk memperoleh lahan, malah sudah dipersiapkan luas lahan minimum yang harus dipunyai, akan tetap dalam tingkat kehidupan yang sama karena implemetasi undang-undang tersebut masih belum berada dikoridor yang sebenarnya. Bertahanannya petani gurem dalam keadaan kesulitan akses terhadap lahan akan membuat kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraan mereka dan akan memberi dampak jangka panjang.

Makin berkurangnya lahan pertanian salah satu faktor penyebabnya adalah belum bisa dilaksanakan pembatasan maksimum dan minimum penguasaan tanah. Hal ini karena dengan tidak ekonomisnya luas kepemilikan lahan membuat petani akan cenderung lebih mudah melepaskan penguasaan lahan tersebut sehingga konversi lahan cenderung meningkat. Disisi lain dengan lebih dominannya jumlah buruh tani dibanding pemilik lahan membuat motivasi untuk bertani sulit untuk ditingkatkan. Imbas dari hal ini adalah produktivitas lahan juga akan sulit untuk dikembangkan.

Kedepan dengan telah adanya Permen ATR/BPN tentang pengendalian penguasaan tanah pertanian diharapkan jadi momentun untuk bisa mengembalikan roh UUPA ke tempat yang seharusnya. Mekanisme yang bijaksana dalam pelaksanaan pembatasan penguasaan tanah seharusnya dapat menjadi solusi yang adil bagi semua pihak, baik bagi pihak yang ditertibkan haknya maupun untuk yang akan diberikan hak penguasaan. Pemberian hak yang seharusnya untuk yang ditertibkan akan meminimalkan “perlawanan” mereka sehingga akan mengurangi gejolak yang mungkin akan muncul. Disisi lain pihak-pihak yang akan memperoleh hak penguasaan harus didata dengan akurat supaya mereka yang memang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan dalam skala non ekonomis yang tersentuh reforma agraria.

Terciptanya kepemilikan tanah yang ekonomis bagi para petani akan mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini bisa berlanjut ketahap hilirnya, yaitu dengan mempertahankan luasan lahan pertanian yang ada karena petani dapat mengandalkan lahannya untuk kebutuhan hidup yang layak sehingga area pertanian yang ada dapat berkelanjutan. Kondisi seperti ini nantinya juga akan dapat mewujudkan ketahanan pangan karena area lahan pertanian yang ada dapat dipertahankan dan produkstivitas lahan akan dapat ditingkatkan disebabkan oleh motivasi petani akan dapat ditingkatkan. Pelaksanaan akses reform juga akan memberikan multiplayer effect yang akan mempermudah upaya petani untuk memberdayakan lahan mereka sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat dan pada titik akhirnya petani dapat merdeka di tanahmya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Suhendar, Endang. 1995. Ketimpangan Penguasaan Tanah Di Jawa Barat. Yogyakarta: Yayasan AKATIGA.

https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-pembentukan-uupa

https://rewangrencang.com/mari-mengenal-hukum-agraria-pertanahan

https://www.medcom.id/telusur/medcom-files/nN9GL05k-cap-komunis-di-reforma-agraria

TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN