Rabu, 02 November 2022

Politik pertanahan kolonial

 

Agrarisch Wet 1870 dan Domein verklaring

Domein Verklaring adalah pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut Agrarische Wet, inti pelaksanaannya adalah tanah yang tidak nyata diokupasi dan tanah yang diokupasi tapi tidak dapat menunjukan bukti kepemilikan maka menjadi milik negara (Belanda). Agrarisch Wet lahir dari pemikiran untuk menjamin kepentingan tanah kaum pemodal seluas-luasnya dan bagaimana melindungi hak-hak rakyat atas tanah. Persoalan yang muncul adalah dengan melindungi hak-hak rakyat atas tanahnya akan mengurangi atau akan menghambat perkembangan dan kepentingan modal asing. Disisi lain usaha menjamin kepentingan dan keuntungan modal besar asing, akan merugikan rakyat karena yang menjadi objeknya sama yaitu tanah.

Hal diatas menjadi masalah bagi Belanda, beberapa menteri jajahan Belanda mencoba memecahkan masalah ini. Pada akhirnya menteri De Waal yang berhasil yaitu dengan diterimanya rancangan Undang- undangnya oleh Parlemen Negeri Belanda menjadi undang- undang yaitu lahirnya Agraris Wet (Undang-undang Agraria) pada 9 April 1870. Lahirnya undang-undang Agraria 1870 itu mempunyai riwayat yang panjang.

Pada tahap awal Menteri Jajahan Fransen Van de Putte pada tahun 1865 merancangkan satu undang-undang dengan nama “Ontwerp Cultuurwet”. Rancangan Undang-undang ini dinamakan oleh perancangnya sebagai jalan pemecahan masalah kolonial dengan cara:

a. Memberikan bantuan yang diperlukan kepada perusahaan pertanian partikelir Barat, dengan:

1. pemberian tanah-tanah bebas (woeste gronden) milik Negara dengan erpacht selamanya 99 tahun 

2. Persewaan tanah milik Indonesia kepada bangsa asing selamanya 10 tahun

3. Peraturan perjanjian kerja dengan orang-orang Indonesia

b. Perlindungan hak-hak tanah bagi rakyat Indonesia. 

Rancangan itu dimulai dengan pemberian hak tanah rakyat Indonesia dari hak “erfelijk individueel gebruiks/bezits recht” menjadi hak eigendom dan pengakuan hak desa atas tanah-tanah yang biasa dikerjakan rakyat dalam waktu yang tertentu, yang biasa dinamakan tanah komunal. Hak-hak eigendom menurut rancangan ini didasarkan pada hak-hak menurut buku Undang-undang Hukum Perdata Hindia Belanda kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan hukum agama dan adat. Maksud Van de Putte mempersamakan hak-hak tanah bangsa Indonesia dengan hak eigendom bangsa Barat, supaya hak tanah Indonesia lebih kuat untuk menjaga dari tindakan semau-maunya pihak pemerintah dengan hak domeinnya atas tanah yang bukan eigendom. Pasal 12 rancangan ini menerangkan bahwa tanah milik eigendom rakyat tidak boleh dijual kepada orang yang bukan bangsa Indonesia, kecuali dengan izin perkecualian karena hal-hal yang luar biasa.

Pelanggaran atas hal ini dapat dinyatakan tidak sah atas jual beli yang sudah dijalankan. Untuk persewaan tanah antara bangsa Indonesia dengan orang asing diperlukan surat perjanjian dengan ketentuan tidak boleh lebih lama dari 10 tahun, dengan persetujuan Kepala Pemerintah Gewes atau Kepala Daerah. Pasal 4 menyebutkan bahwa tanah-tanah untuk rumah-rumah, bangunan, jalan-jalan, pasar-pasar, air pipa dan semua bangunan-bangunan untuk kepentingan umum, yang pemeliharaannya dijalankan oleh desa, masuk lingkungan kekuasaan desa. Pasal 5 rancangan ini mengakui kedudukan hukumnya “Desa Perdikan” dan tanah-tanah lainnya yang dianggap keramat. 

Pasal 6 merupakan permulaan Domeinverklaring yaitu semua tanah yang tidak termasuk dalam pasal-pasal di muka, yang sebelum berlakunya undang-undang itu, tidak dapat dinyatakan dengan hak eigendom maka menjadi kepunyaan negeri. Dari pengalamannya puluhan tahun di tengah-tengah masyarakat Indonesia di Jawa sebagai orang di pabrik gula (suiker fabrikant), Van de Putte mengenal adat-adat yang ada di daerah Jawa, bahwa menurut hukum adat, rakyat mempunyai hak atas tanah-tanah yang masih bebas belum diusahakan, yaitu hak buka tanah (ontginning srecht), dan dengan jalan itu dapat menerima hak milik, serta hak mengambil hasil hutan. 

Pasal 18 berisi peraturan bahwa rakyat yang hendak membuka tanah kosong kepunyaan negeri harus minta izin kepada Pembesar Daerah. Pasal 19 menerangkan pengakuan atas tanah tadi dengan hak memakai. Kalau tanah itu akan diambil harus diganti rugi. Rancangan Undang-undang ini dengan jelas mengatur perlindungan milik rakyat, disamping memberikan jaminan secukup-cukupnya untuk kepentingan onderneming. Rancangan Undang-undang itu juga memuat tentang hutan-hutan kepunyaan Negeri (domaniale bosschen) dan perkebunan Negeri, yang menurut R.R. pasal 56 masih diteruskan. Dengan rancangan Undang-undang itu dimaksudkan akan dapat memecahkan masalah penjajahan bagi kedua pihak dan menentukan batas-batas yang terang antara tanah-tanah yang didiami dan diusahakan Rakyat, dengan tanah-tanah di luar itu yang menjadi tanah Negeri yang bebas. Rancangan Undang-undang Fransen van de Putte akhirnya ditolak oleh Parlemen, diantaranya karena oposisi dari kawan separtainya  yaitu Torbecke.

Parlemen dalam pemandangan umum selama 14 hari (1-17 Mei 1866) berputar kepada pembicaraan pasal 1, dan karena pasal 1 itulah Parlemen menolaknya. Suara terbanyak dalam Parlemen menentang maksud pasal 1 itu, yang akan memberikan hak eigendom atas tanah-tanah milik rakyat, karena katanya tidak sesuai hak Barat dikenakan bagi masyarakat Indonesia. Amandemen Poortman menghendaki supaya kepada bangsa Indonesia tidak diberi hak eigendom atas tanahnya, tetapi dijamin dengan hak turun temurun. Oleh karena maksud Van de Putte adalah pemberian hak eigendom atas tanah bagi Rakyat Indonesia, dia tidak dapat menerima amandemen Poortman. Dia menarik rancangan Undang-undangnya dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Jajahan. Mr. P. Meyer, Menteri jajahan yang mengantikannya (dari golongan konservatif) segera mengadakan peraturan sementara yang segera diumumkan oleh Gubernur Jenderal, terkenal dengan nama “Proclamatie des Konings” (Indisch Staatsblad 1866 No. 80), menyatakan dengan resmi hak-hak orang Indonesia atas tanah dengan hak perseorangan turun-temurun dan hak memakai tanah desa, dengan jaminan bahwa akan dijaga benar-benar terhadap pelanggaran atas hak-haknya dari pihak manapun.

Rancangan Undang-undang Erfpacht Meyer Trakranen untuk memajukan onderneming pertanian modal besar asing. Menteri Jajahan Meyer, mengajukan rancangan undang-undang yang lebih terbatas dari rancangan Cultuurwet Van de Putte, maksudnya hanya untuk memberikan tanah-tanah yang berupa semak belukar dengan hak erfpacht. Meyer diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Dalam tahun itu juga rancangan Undang-undang Meyer dioper oleh penggantinya N. Trakranen. Sejak itu rancangan Undang-undang tersebut terkenal dengan nama rancangan Undang-undang Erfpacht Meyer Trakranen (tahun 1866/1867).

Rancangan Undang-undang Erfpacht Meyer/Trakranen ditolak oleh perlamen, karena dianggap tidak penting. Perdebatan mengenai persoalan “tanah-tanah kepunyaan penduduk yang mana yang dikecualikan dari pemberian erfpacht waktu membicarakan rancangan itu, memberi juga bahan untuk isi peraturan-peraturan yang dirancangkan kemudian oleh Menteri de Waal. Pada tahun 1868 E De Waal (dari golongan Liberal) menjadi menteri Jajahan.

Akhirnya dialah yang berhasil dapat menyelesaikan masalah kolonial dalam hal tanah. Rancangannya dapat diterima menjadi Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 9 April 1870. Usahanya berhasil, karena dia mencari akal dengan pembatasan rancangannya. Dia tidak mengajukan rancangan yang luas dengan Undang- undang yang tersendiri. Kepada Parlemen sebagai Badan Politik dia hanya mengemukakan 5 dasar-dasar yang dianggap pokok harus diselesaikan. Peraturan dan pelaksanaan lebih luas akan diatur dengan Peraturan Umum (Algemeene verordening) sebagai peraturan yang tidak usah ditentukan dalam Parlemen. Cara ini dianggap akan lebih menyempurnakan isi peraturan yang diadakan, karena pengertian keadaan daerah lebih luas dan dalam dari pada orang-orang di pemerintah Pusat (Negeri Belanda). De Waal sendiri segera mengajukan usul memasukkan ke dalam Koninklijk Besluit yang pertama, dan masuklah isi rancangan itu dalam “Agrarisch Besluit” 20 Juli 1870, sebagai peraturan dari 5 pokok dalam undang-undang yang singkat.

Pihak Parlemen umumnya keberatan dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan selanjutnya hanya akan ditetapkan oleh Badan-badan Pembuat Undang-undang yang rendah. Begitu juga bekas Gubernur Jenderal. Duymaer van Twist, sekalipun menyetujui rancangan itu dalam Eerste Kamer. Memang menurut pengalaman Duymaer van Twist sendiri sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia, tidak mungkin Parlemen di Negeri Belanda akan dapat mengatur soal-soal lebih jauh daripada soal-soal pokok tentang keadaan di Indonesia.

Pengakuan akan hak rakyat atas tanah serta peraturan yang mengatur pemberian tanah yang belum dibuka (niet ontgonnengronden), dengan hak erfpacht dan tanah-tanah yang sudah dibuka (tanah-tanah kepunyan Rakyat) dengan perjanjian persewaan suka rela, dianggap sudah cukup dapat memecahkan masalah yang pokok. Ditambahkannya 5 ayat lagi dalam pasal 62 R.R. (pasal 51 dari Indische Staatsregeling) dengan ayat 4 sampai 8, dianggap sudah dapat dipecahkan masalah kolonial yang besar dan sulit itu. Pasal 51 I.S. ayat 4 memuat pemberian tanah dengan hak erfpacht buat waktu yang panjang (dengan maksimum 75 tahun). Ayat 8 memuat tentang: persewaan tanah milik orang Indonesia oleh orang asing yang akan diatur dalam Peraturan Umum. Bunyi ayat 4 : “Dengan Undang-undang akan diberikan tanah dengan hak turun-temurun (erfpacht) untuk selama-lamanya 75 tahun”. Ayat 8 berbunyi : “Persewaan tanah dari rakyat Indonesia kepada orang asing berlaku menurut Undang-undang”.

Dengan adanya peraturan-peraturan itu, dianggap sudah cukup menjamin kepentingan modal besar partikelir Barat untuk mendapatkan tanah baik untuk kepentingan tanaman keras (dengan hak erfpacht) maupun untuk tanaman giliran (dengan peraturan persewaan). Dikatakan juga, dengan begitu berarti memberikan hak-hak rakyat lebih luas akan tanah yaitu dengan hak menyewakan itu diartikan lebih besar haknya atas tanah. Ayat 5 berbunyi Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak Rakyat Indonesia dan selanjutnya ayat 6 berbunyi Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri atau untuk keperluan lain, kecuali untuk kepentingan umum, berdasarkan pasal 133 I.S dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu.

Semuanya itu dengan pemberian pengganti kerugian yang layak, ayat 5 dan 6 di atas bermaksud melindungi hak rakyat. Ayat 7 memberi kemungkinan untuk mendapatkan hak yang lebih kuat bagi orang Indonesia, dengan peraturan bahwa gebruiksrecht (hak memakai) dapat diganti hak eigendom. Ayat 7 berbunyi tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan syarat-syarat dan pembatasan yang diatur dalam undang-undang dan harus tercantum dalam surat tentang tanda eigendom itu, yaitu yang mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah itu kepada Negara dan Desa dan pula tentang hak menjualnya kepada orang yang bukan orang Indonesia. Tentang pemberian hak eigendom kepada Rakyat Indenesia atas tanahnya, sebelumnya itu juga diajukan dalam rancangan Cultuurwet van de Putte. Tetapi mengingat tantangan dalam Parlemen, De Waal mengajukan rancangannya mengenai pemberian hak eigendom kepada Rakyat itu tidak sebagai keharusan, tetapi fakultatif. Rancangan Van de Putte dulu menyatakan sebagai perubahan hak yang mesti dilakukan, tidak secara fakultatif. Rancangan Van de Putte oleh Parlemen dianggap sebagai “paksaan” berlakunya hak eigendom menurut hukum Barat untuk orang Indonesia. Hal itu menimbulkan keberatan orang-orang Parlemen, dan menyebabkan rancangan itu ditolak.

Dengan perumusan yang baru dari De Waal (pemberian hak eigendom atas tanah Rakyat secara fakultatif), Parlemen menerima dengan suara terbanyak. Untuk membedakan hak eigendon Barat dengan hak eigendom orang Indonesia atas tanah, maka atas hak eigendom Indonesia itu biasa disebut “agrarisch eigendom”. Orang Indonesia umumnya tidak merasakan keuntungannya dengan hak tanah semacam ini, karena prakteknya beban-beban dari hak tanahnya itu tidak tambah ringan, sedang jalan untuk mendapatkan hak itu mudah. Prakteknya sedikit sekali rakyat mempergunakan kesempatan itu.

Dalam pembicaraan Rancangan Undang-undang tahun 1870 (rancangan de Waal), banyak soal-soal yang terdapat dalam pembicaraan tahun 1866/1867 (pembicaraan rancangan Cultuurwet) diulangi lagi. Dasar-dasar hukum agraria seperti yang sudah dikemukakan itu semua, bertujuan menjamin kepentingan tanah bagi onderneming, dan disamping itu melindungi hak-hak tanah Rakyat Indonesia. Dilarangnya Gubernur Jenderal menjual tanah secara besar-besaran kepada orang partikelir seperti yang terdahulu, diganti dengan hak pemberian erfpacht, bukan penjualan tanah tetapi secara sewa secara luas, dengan waktu yang lama (75 tahun). Waktu yang 75 tahun, dengan kesempatan untuk memperpanjang, dan luas 500 bahu, dengan kesempatan untuk minta tambah lagi, dengan hak hipotik (zakelijke recht) adalah hak-hak yang besar.

Ketentuan mendapatkan tenaga untuk tanah partikelir dijamin dengan hak feodal (pancen, herendienst), untuk konsesi atau erfpacht di Sumatera Timur dijamin dengan Kulieordonnann tie dengan poenale sanctie nya. Sedang buat di Jawa cukup terjamin dengan tersedianya penduduk yang miskin yang tanahnya diambil itu. Bedanya hanya nama. Akibatnya kepada rakyat sama saja. Perbudakan model lama, model abad pertengahan, diganti dengan perbudakan model baru, dengan jaminan hukum baru. Untuk perlindungan tanah Rakyat, disamping pemberian hak erfpacht kepada orang asing, ditentukan bahwa tanah- tanah yang diberikan untuk erfpacht itu hanya tanah-tanah bebas, yang belum diusahakan Rakyat. Tetapi ada perkecualian, yaitu tanah-tanah Rakyat yang pemiliknya “dengan kemauan sendiri” suka melepaskan haknya. Dengan istilah mengembalikan hak kepada Negeri (tidak menjualnya), Pemerintah sudah dapat menyewakan tanah itu kepada orang asing dengan hak erfpacht, sebagai dinyatakan dalam Keputusan Kerajaan (Koninkljik beslissing) 4 Agustus 1875.

Undang-undang tahun 1875 No. 179 melarang penjualan tanah orang Indonesia kepada bangsa asing, dikatakan sebagai perlindungan untuk menjaga agar orang Indonesia tidak gampang menjual tanahnya. Untuk menjaga undang-undang itu, maka dengan undang-undang 14 Februari 1912  diancam dengan hukuman terhadap pelanggaran Undang- undang 1876 No. 179 itu. Selanjutnya berturut-turut diadakan Undang-undang sewa tanah untuk kepentingan tanaman giliran, yang terkenal dengan Grondhuur Ordonnantie, berulang-ulang diubah dan ditambah (1871 No. 163, 1895, 1900 dan yang terakhir tahun 1918 Stbl. No. 88) untuk Jawa. Undang-undang itu oleh Pemerintah Republik Indonesia diubah dengan Undang-undang Darurat No. 6 tahun 1951, dan seterusnya disahkan sebagai undang-undang biasa dengan beberapa perubahan dan tambahan, yang diterima oleh Parlemen R.I. Dengan adanya Undang-undang tanah, seperti: erfpacht, konsesi, serta persewaan, lengkaplah macamnya peraturan untuk membuka segala jalan guna menjamin kepentingan perkembangan modal besar asing di lapangan agraria.

Persoalan mengenai dasar-dasar Hak Tanah dalam membuat dan menentukan Undang-undang Agraria serta peraturan yang mengikutinya, selalu menjadi persoalan adalah tentang dasar-dasar hak tanah bagi Rakyat Indonesia, apakah dasarnya untuk menentukan hak-hak Negara (Pemerintah Hindia Belanda) atas tanah di Indonesia ini, untuk menentukan hukum dan peraturan bagi kepentingan modal asing. Persoalan pokoknya adalah pegangan dan dasar hukum apa yang dapat dipakai untuk membenarkan tindakannya, bagi kepentingan politik penjajahannya dalam hal tanah, agar dapat dipertanggungjawabkan sepanjang hukum atas adat yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Karena itu selalu dicari dasar yang terdapat dalam masyarakat, yang kiranya dapat dijadikan pegangan dan alasan untuk membenarkan tindakan itu.

Sampai pada waktu pembentukan Undang-undang (RR) 1854, masih belum lagi cukup pengetahuan orang mengenai dasar-dasar hukum dan hak tanah bagi Rakyat Indonesia. Sejak dulu orang-orang sudah sangsi akan kebenarannya teori “domein” yang melahirkan Domeinverklaring. Dalil Raffles, yang dasarnya dibawa dari Inggris, berdasarkan anggapan bahwa Raja adalah pemilik tanah, sebagai orang yang mempunyai Negeri dengan seisinya, sebagai Raja seru sekalian alam. Pengetahuan yang didapat di daerah Kerajaan (Vorstenlanden), dengan adanya istilah tanah itu menjadi kepunyaan raja, menambah kuatnya pegangan seterusnya di dalam menentu- kan sekalian Undang-undang dan peraturan tentang tanah. Orang berbantah dan berselisih faham tentang ini, tentang benar tidaknya dalil Raffles. Tetapi kepentingan jajahan menuntut keuntungan-keuntungan yang sebesar-besarnya dari jajahannya. Untuk maksud ini tafsir atas kebiasaan yang berlaku dijadikan pegangan dan patokan. Raffles menggunakan dalilnya untuk menjalankan sistem landrentenya. Komisaris-komisaris Jenderal Belanda yang meneruskan pemerintah sesudah Raffles, dengan langsung saja menerima dalil Raffles sebagai suatu aksioma. Dipergunakannya untuk menjual tanah “miliknya” itu kepada orang partikelir, meneruskan yang dulu-dulu dijalankan. Disamping itu, meneruskan sistem landrente Raffles dengan penjualan “tanah partikelir” dengan hak kenegaraan.

Domeinverklaring dipandang dari sudut teori yuridis terlihat ganjil, ruwet dan tidak berguna. Dipandang ruwet karena terdapat susunan yang membingungkan. Tanah yang menjadi hak milik (bezitsrecht) orang Indonesia, dalam Domeinverklaring dinyatakan sebagai hak (domein) negeri, ganjil karena setelah Negara mengatakan tanah itu semua kepunyaannya sehingga Negara sebagai eigenaar tanah, masih perlu eigenaar tanah itu “meng-onteigen” dari Rakyat bilamana orang Indonesia pemiliknya tidak suka melepaskan tanahnya itu dengan suka rela. Pengambilan oleh Pemerintah dengan istilah “onteigenen”’ berarti mengakui milik yang punya tanah itu. Kalau Negara sudah menyatakan dirinya sebagai eigenaar, apakah perlunya untuk memberi keharusan mempertimbangkan dulu dengan Rakyat sebagai orang yang bukan pemiliknya.

Dengan begitu berarti pemerintah tidak tahu akan haknya sendiri, seperti yang sudah dinyatakan sebagai eigenaar tanah. Kalau undang-undang sudah memberikan hak eigendom berarti rakyat dapat langsung mempergunakan hak itu. Tidak usah mengadakan perundingan dengan orang partikelir, diantaranya untuk keperluan pemberian erfpacht itu. Vollenhoven selanjutnya mengatakan bahwa di daerah-daerah kerajaan yang memerintah sendiri (yang mestinya berarti masih diakui kekuasaannya), harus diakuinya juga kekuasaan raja atas tanah, konsekuen dengan pernyataan bahwa raja adalah pemilik tanah. Seharusnya difikirkan juga oleh pembuat Undang-undang adanya Domeinverklaring buat Swapraja lebih dulu.

Tetapi pada kenyataannya tidak demikian, raja raja yang dikatakan masih memerintah sendiri, tidak lagi berkuasa atas tanah dalam daerah kerajaannya dapat mengubah hak menurut dasar-dasar Timur menjadi peraturan Barat. Dengan tidak usah memakai domeinleer, hak-hak barat dapat diatur karena kekuasaan Pemerintah. Domeinleer yang didasarkan atas pengertian bahwa raja itu eigenaar tanah, teranglah tidak dapat dijadikan ukuran umumnya bagi seluruh Indonesia. Dasar-dasar dan teori yang ruwet dan meragukan kebenarannya itu seharusnya segera dilepaskan saja, demikian dari golongan yang anti.

Keberatan yang terutama terhadap adanya domeinverklaring ialah bahwa hak wilayah daerah tidak dijamin di dalamnya. Ini berarti bahwa yang dibuka Rakyat tidak dengan izin pemerintah, tanah tersebut tetap menjadi landsdomein, sekalipun tanah itu masuk dalam wilayah desa. Tanah-tanah bekas perkebunan pemerintah (cultuurgronden) yang sudah ditinggalkan pemerintah, pemerintah tidak mengakui hak penduduk. Sekalipun tanah itu sudah dimiliki penduduk, tetapi masih tanah Pemerintah. Van Vollenhoven dengan keras dan tajam mencela putusan-putusan tuan-tuan besar Buitenzorg dan Batavia yang menjalankan dan mempraktekkan peraturan-peraturan agraria, dikritik ahli-ahli hukum pegawai pengadilan yang berbolak-balik putusannya, ketidakbenaran putusan dan sering-sering bertentangan satu dengan lainnya. Selanjutnya dia mengatakan dengan keras bahwa hak negeri atas tanah hanyalah teori omong-kosong dan khayal.

Bagaimanapun juga tidak dapat dipertahankan perumusan domein yang membatasi hak-hak menurut adat atas tanah tanah pertanian rakyat yang menyebabkan kekacauan di Indonesia Domeinverklaring yang akan mewujudkan ketertiban hukum menjadi pangkalnya segala kegoncangan hukum, yang terang ialah yang mengenai tanah-tanah pertanian Rakyat. Dasarnya Domeinverklaring salah dan antipatik, mengingat keadaan juga sudah tidak dapat dipertahankan. Gunanya tidak ada malahan membahayakan. Domeinverklaring bagi Pemerintah mestinya harus berarti hanya hak terhadap sisa tanah sesudah diambil tanah-tanah yang menjadi hak milik penduduk Indonesia. Jadi hanya atas satu pulau kenang-kenangan manusia yang belum didiami orang, di sanalah Pemerintah mempunyai kekuasaan penuh dengan domeinverklaringnya itu. Di daerah-daerah pegunungan di Priangan di luar tanah-tanah kepunyaan Rakyat, di sanalah Pemerintah mendapat hak-hak itu.

Hak Pemerintah atas tanah-tanah pertanian rakyat, hanya nama dan omong kosong, seperti halnya dengan pernyataan hak eigendom seseorang atas jalan-jalan desa, demikian Vollenhoven. Noslt Trenite dengan keras membela domeinleer yang dihina oleh Vollenhoven. Dalam notanya yang dinamakan domeinnota tahun 1912 menerangkan, bahwa perlu dijanlankan teori domein sebagai sandaran kekuasaan hak-hak Negara. Dengan tegas dia bertanya apakah untuk kepentingan eksploitasi tanah yang sangat dibutuhkan itu, Pemerintah Hindia Belanda akan menjadi Tuan yang menguasai tanah, ataukah menyerahkan kekuasaan itu kepada pengurus Desa, kepala Marga, Kepala-kepala kuria, orang-orang semacam itu, yang sama sekali tidak mempunyai perasan, pengertian dan pandangan ekonomi?

Menurut Trenite, hak wilayah desa (beschikkingsrecht) hanya berlaku di zaman dahulu, waktu tanah di Jawa masih luas. Dengan bertambahnya penduduk dan kemajuan perkebunan di Indonesia, maka hal tersebut tidak bisa lagi diterapkan. Pemerintah harus mempunyai kekuasaan yang penuh atas sesuatu yang tidak dapat diatur oleh desa. Menurut pikiran itu, maka kekuasaan dan kedaulatan desa-desa yang dulu sebagai negara kecil-kecil sudah pindah ke tangan Negara. Demikianlah persoalan yang timbul mengenai dasar- dasar hak milik tanah bagi Rakyat Indonesia. Bagaimanapun perdebatan itu hebatnya, tetapi untuk kepentingan kolonial, untuk kepentingan kekuasaan Negara, dan untuk menjamin eksploitasi tanah oleh modal besar, perlu Pemerintah menguasai tanah itu dengan Domeinverklaring sebagai pernyataan yang tidak boleh disangkal.

 

Culturstelsel

Culturstelsel yaitu sistim tanam paksa, masyarakat dipaksa untuk menggunakan sebagian besar lahannya untuk menanam tebu. Masyarakat yang gagal akan mendapatkan hukuman. Waktu masyarakat habis untuk pemeliharaan tebu sehingga tidak cukup waktu mengurus tanaman mereka sendiri sehingga masyarakat menjadi makin miskin sedangkan Belanda justru pada masa ini berada pada puncak kejayaan.

Pengolahan dan pemasakan hasil itu diserahkan kepada pabrik-pabrik kepunyaan orang Eropa atau Tionghoa. Hasilnya yang sudah dimasak itu diserahkan kepada Pemerintah dengan biaya yang sudah ditetapkan. Pengangkutan barang-barang itu ke negeri Belanda diserahkan kepada Nederlandsch Hendel Maatschappy di Indonesia terkenal dengan nama Factory didirikan oleh Raja Willem I sejak tahun 1824, dengan kapal-kapalnya. Selanjutnya Nederlandsch Handel Maatschappy menjual barang-barang hasil bumi Indonesia di pasar dunia. Uang penjualannya sebagian untuk Pemerintah Belanda dan sebagian untuk Pemerintah Hindia Belanda. Sesudah tanaman tebu dan nila, menyusul tanaman kopi. Untuk tanaman kopi tidak memakai tanah pertanian rakyat, tetapi tanah yang masih berupa hutan belukar yang terletak di luar daerah perkampungan rakyat, sehingga dianggap tidak mengganggu tanah pertanian rakyat karena tidak mengurangi luas tanah pertanian rakyat yang ada. Tetapi karena tanah itu letaknya jauh dari tempat kediaman rakyat, rakyat yang harus mengerjakan itu, terpaksa meningalkan kampung dan tanah pertaniannya, sehingga terpaksa tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri. 

Kekurangan uang negeri Belanda yang sangat mendesak mendorong Gubernur Jenderal Van den Bosch yang merangkap juga Komisaris Jenderal, bertindak sebagai diktator, menjalankan usaha Cultuurstelsel dengan sekeras-kerasnya. Semua pegawai, baik Belanda maupun bumiputra, dikerahkan untuk mengawasi pekerjaan rakyat secara keras. Akhirnya beban rakyat menjadi sangat berat, tidak dapat dipikul lagi. Karena hasil kekerasan Van den Bosch, yang  mengerahkan tenaga rakyat untuk Cultuurstelsel tidak lama tanah Jawa, dari selat Sunda sampai selat Bali menjadi kebun yang indah menghijau dengan tanaman bahan-bahan ekspor, sumber kekayaan yang tidak ternilai. Tanah yang dipergunakan untuk Cultuurstelsel semua ± 1 /18 luas tanah Jawa. Untuk mengerjakan ini dipakai tenaga 800.000 keluarga atau ¼ dari jumlah penduduk tanah Jawa pada waktu itu. Pegawai-pegawai Pemerintah dengan kejam mengerahkan tenaga rakyat di kebun-kebun.

Mereka mendapatkan hadiah besar dari pemerintah, yang dinamakan “Cultuur atau koffie procenten” buat pegawai-pegawai Belanda dan hadiah pangkat tinggi turun temurun bagi pegawai bumiputra. Karena Cultuurstelsel, kapal- kapal dagang Nederland selalu penuh dengan muatannya, membawa hasil bumi Indonesia, masuk ke pelabuhan den Helder dan Hellevoetsluis. Amesterdam kembali hidup menjadi pusat perdagangan “barang-barang kolonial” di seluruh dunia. Kebobrokan keuangan Negeri Belanda segera dapat dipulihkan. Penanggung-penanggung pajak yang berat di Negeri Belanda mulai dapat bernafas dengan lega, karena mulai dapat keringanan bebannya, Factory dapat membagikan keuntungannya, sekalipun baru 5%. Bagi Negeri Belanda, betul-betul tanah Jawa sebagai gantungan hidupnya, sebagai dinyatakan oleh Menteri Baud: “Java was de kurkwaarop Nederland dreef” (Tanah Jawa menjadi gabus tempat Negeri Belanda terapung). Artinya kalau Indonesia lepas, Nederland akan tenggelam. 

Moda Produksi

Moda produksi merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Karl Max, secara prinsip merupakan pandangan siapa yang berhasil sebagai pemenang atau siapa yang kalah dari aktifitas ekonomi yang ada pada masyarakat. Hal ini terjadi dalam usaha perkebunan, masyarakat yang tidak bisa menunjukan bukti kepemilikan maka akan kehilangan lahannya, akhirnya mereka bekerja di lahan yang sebelumnya milik mereka sendiri tapi sekarang sudah jadi milik Belanda. Tapi mereka tetap beranggapan perkebunan belanda ini sebagai penyelamat buat kehidupan.

 

Daftar Pustaka

Tauchid, M. 2009. Masalah Agraria : Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran

Rakyat Indonesia. STPN Press. Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN