Selasa, 12 Oktober 2021

Pertimbangan Perencanaan Penggunaan Sumberdaya Lahan

        Keberadaan sumberdaya lahan relatif tetap dari segi luasan sedangkan kebutuhan manusia kepada lahan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah manusia.Kemampuan manusia dalam medapatkan lahan tidak sama sehingga terjadi suatu kompetisi untuk mengakses lahan, ini tentunya harus dikendalikan untuk mencapai keberlanjutan.Salah satu bentuk pengendalian tersebut adalah dengan perencanaan pengelolaan sumberdaya lahan tersebut. Berikut ini akan dilihat pertimbangan-pertimbangan dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya lahan berdasar fungsi wilayah:

a. Perkotaan

Sitorus (2019) menjelaskan asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning) sebagai berikut:

a.  Aman, maksudnya aman dari bahaya kebakaran, tindak kejahatan, bahaya banjir, bahaya kecelakaan lalu lintas dan ketunakaryan

b. tertib,maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam lalu lintas dan dalam hukum.

c.  lancar, maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar belalu lintas dan lancar dalam komunikasi

d.  Sehat, maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani

Sudrajat (2005) menjelaskan tentang fenomena yang terjadi di Kota Bogor. Belajar dari pengalaman yang dihadapi Kota Bogor pertimbangan pengaruh perubahan guna lahan terhadap limpasan dan resapan air menjadi sangat penting dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut:

1. Perkiraan kebutuhan ruang didalam RTRW kota Bogor untuk tahun 2009 yang secara total hanya mengalokasikan kawasan resapan air/ ruang terbuka hijau sebesar 11%, dapat berpengaruh terhadap peningkatan air limpasan sebesar 37% jika dibandingkan dengan kondisi limpasan air tahun 2002. Kondisi tersebut jelas akan memberikan pengaruh yang cukup besar tehadap persoalan banjir di DKI Jakarta dan resapan air bagi kota Bogor. Mengingat pada tahun 2005 ini sudah saatnya dilakukan evaluasi terhadap RTRW kota bogor, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan unutuk merevisi arahan pemanfaatan ruang untuk tahun 2009. Bila digunakan dasar proyeksi penggunaan lahan shift share dan ektrapolasi garis regresi yang moderat untuk keseluruhan kota Bogor, maka luas maksimal setiap jenis penggunaan lahan untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut:

a. Perumahan/permukiman = 8.232,7 Ha

b. Perkantoran dan pergudangan = 489,9 Ha

c. Perdagangan dan jasa = 330,1 Ha

d. Industri = 197,6 Ha

e. Pertanian lahan basah = 871,0 Ha

f. Pertanian lahan kering = 456,3 Ha

g. Taman/ kuburan/ lap olahrada = 504,2 Ha

h. Penggunaan lain (jalan, terminal dll.) = 539,3 Ha

i. Danau/badan sungai = 106,4 Ha

j. Hutan kota =122,6 Ha

Alokasi lahan tersebut akan mengakibatkan limpasan air permukaan sebesar 31,62%, sedangkan berdasarkan alokasi penggunaan lahan dalam RTRW kota Bogor tahun 2009 akan meningkatkan limpasan sebesar 37%. Bagi Kota Bogor yang terletak dibagian tengah DAS Ciliwung, terlihat bahwa dengan proyeksi yang moderat masih menunjukkan bahwa proporsi guna lahan untuk kawasan terbangun yang terlalu tinggi.

2. Pengaturan pemanfaatan ruang untuk tiap kecamatan perlu diarahkan secara lebih rinci dengan memasukkan pertimbangan resapan air dan perlidungan air tanah untuk menetapkannya. Pemanfaatan lahan di Bogor Selatan dan Utara perlu dipertahankan untuk penggunaan dengan intensitas rendah. Kepadatan yang tinggi di Bogor tengah akan mengarah ke timur dan barat. Perkembangan tersebut perlu tetap menjaga proporsi ruang terbuka yang memadai. Oleh sebab itu pengendalian dengan memusatkan perkembangan dengan kepadatan tinggi perlu dikonsetrasikan di pusat2 kegiatan perlu dijabarkan dalam rencana yang lebih rinci.

3. Upaya preventif melalui perencaan tata ruang perlu diimbang dengan penanganan secara kuratif terhadap perkembangan yang saat ini sudah terjadi.

          Eko dan Rahayu (2012) menjelaskan kondisi penataan sumberdaya lahan di Kecamatan Mlati sebagai salah peri urban Kota Yogyakarta mendapat pengaruh yang cukup signifikan terutama dalam penggunaan lahannya. Hal ini terlihat dari persentase perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada tahun 1996‐2010 yang mencapai 10,32% dari luas total lahan di kecamatan ini. Dari analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan rencana pemanfaatan ruang diketahui kelemahan terletak pada faktor/aspek peraturan yaitu belum disahkan dokumen RDTR APY Kecamatan Mlati menjadi Peraturan Daerah. Hal ini penting karena peraturan tersebut merupakan dasar hukum dari pelaksanaan rencana tata ruang.Tersedianya lembaga koordinasi dan pelaksana pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta didukung dengan sumberdaya manusia yang mencukupi merupakan kekuatan pendukung implementasi. Pada faktor pelaksanaan, prosedur rencana, pengawasan dan pengendalian sudah dilakukan sesuai peraturan yang ada namun hal ini tidak diikuti dengan penindakan secara tegas terhadap pelanggaran rencana tata ruang. Lemahnya penegakan hukum dan pengendalian ini merupakan kelemahan pada aspek pelaksanaan. Hal yang bisa mengancam implementasi adalah investasi dan kebijakan pemerintah tentang peningkatan nilai pajak. Dari sisi masyarakat terdapat ketidaktahuan serta kenekatan masyarakat dalam melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang. Kearifan lokal dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perijinan serta peran pemerintah desa merupakan peluang yang bisa digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan rencana tata ruang.

Samli (2012) menjelaskan kondisi pemanfaatan sumberdaya lahan di Kota Masohi. Pengalokasian pusat aktifitas kota seperti kawasan pemerintahan dan pendidikan yang tidak mempertimbangkan keterkaitan fungsional kawasan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kondisi fisik lahan yang ada pada sekitar daerah tersebut.

        Penggunaan lahan berupa areal permukiman (Kelurahan Ampera dan Kelurahan Lesane) tidak layak untuk dijadikan kawasan terbangun karena tidak sesuai standar kesesuaian lahan. Kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan konservasi hutan lindung berdasarkan rencana tata ruang Kota Masohi.

b. Pedesaan

Sitorus (2009) menjelaskan asas tata guna lahan daerah pedesaan sebagai berikut:

a. Lestari. tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan berdampak pada :

- akan terjadi penghematan dalam penggunaan tanah

- agar generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya untuk mewariskan sumberdaya alam kepada generasi yang akan datang

b. optimal, pemanfataan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomi yang setingi tingginya

c. serasi dan seimbang, suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan berbagai pihak, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah.

Sitorus (2019) menjelaskan bahwa pembangunan pedesaan harus memperhatikan hal-hal seperti berikut ini:

a. mengontrol pembangunan pedesaan

b. memastikan secara visual bahwa pembangunan pedesaan disuatu lokasi harus sesuai dengan lingkungan sekitar.

c. mengurangi perubahan pemanfatan lahan yang belum terbangun menjadi kawasan pemukiman yang tersebar dan berkepadatan penduduk rendah

d. melindungi kawasan kritis dan air permukaan, sumber hayati bawah air

e.menghindari terjadinya konflik dalam penggunaan lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan dan pertambangan.

Amelia dan Mussadun (2015) menjelaskan kondisi di pulau Dompak, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pulau Dompak terindikasikan terdapat beberapa ketidaksesuaian antara rencana induk dan kondisi di lapangan. Berdasarkan kondisi fisik, jumlah sarana peribadatan yang ada di Pulau Dompak sudah cukup sesuai dengan standar kebutuhan untuk kondisi eksisting. Untuk sarana pendidikan sudah terdapat sebuah sekolah dasar dan sebuah universitas. Sarana rekreasi yang ada di Pulau Dompak sudah tersedia namun perlu adanya pengelolaan dan pengembangan lebih lanjut agar dapat berkembang. Namun untuk sarana pemerintahan masih perlu adanya penyesuaian dengan rencana karena terdapat beberapa gedung pemerintahan yang tidak dibangun pada lokasi yang ditetapkan pada rencana. Untuk kondisi prasarana sudah cukup baik hanya saja untuk jaringan listrik dan air bersih masih perlu adanya peningkatan kualitas lagi karena pada jaringan listrik belum tersedia sama sekali dan jaringan air bersih masih menggunakan sumur.

Pembangunan yang dilakukan di Pulau Dompak disesuaikan dengan rencana detil kawasan yang berpedoman pada RTRW Kota Tanjungpinang. Namun, terdapat ketidaksesuaian pada rencana detil dengan RTRW Kota Tanjungpinang. Ketidaksesuaian ini terjadi pada penentuan kawasan penghijauan menjadi kawasan aktif berupa perkantoran gubernur.

c. Kawasan pesisir

Djunaedi dan Basuki (2002) menjelaskan para ahli di bidang pengelolaan wilayah pantai berpendapat bahwa pengelolaan wilayah pantai secara terpadu (Intergrated Coastal Zone Management) merupakan kunci bagi pemecahan problem dan konflik di wilayah pantai yang sangat pelik dan kompleks.Keterpaduan di dalam manajemen publik dapat didefinisikan sebagai penentuan goals dan objektif secara simultan, melakukan secara bersama-sama pengumpulan informasi, perencanaan dan analisis secara kolektif, penggunaan secara bersama-sama instrumen pengelolaan. Pada kenyataannya, integrasi yang bersifat ideal sebagaimana dikemukakan di atas tidak pernah akan dapat terjadi atau dilakukan. Di dalam praktek integritasi ini biasanya merupakan upaya koordinasi antara berbagai institusi atau lembaga terkait untuk menyelaraskan berbagai kepentingan, prioritas dan tindakan. Usaha untuk melakukan koordinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme, prosedur dan rencana. Dengan demikian, rencana wilayah pantai terpadu disamping berfungsi sebagai arahan bagi pengembangan, strategi yang dilakukan dan tindakan yang akan dilaksanakan, juga berfungsi sebagai instrumen koordinasi.

       Konsepsi pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan dan selalu terdapat isue-isue yang lebih menonjol tergantung dari kondisi wilayah pesisir bersangkutan. Pendekatan-pendekatan ini meliputi :

1. pendekatan ekologis;

menekankan pada tinjauan ruang wilayah sebagai kesatuan ekosistem. Pendekatan ini sangat efektif untuk mengkaji dampak suatu pembangunan secara ekologis, akan tetapi kecenderungan mengesampingkan dimensi sosial, ekonomis dan politis dari ruang wilayah

2. pendekatan fungsional atau ekonomi;

menekankan pada ruang wilayah sebagai wadah fungsional berbagai kegiatan, dimana faktor jarak atau lokasi menjadi penting

3. pendekatan sosio-politik;

menekankan pada aspek “penguasaan” wilayah. Pendekatan ini melihat wilayah tidak saja dilihat dari berbagai sarana produksi namun juga sebagai sarana untuk mengakumulasikan power. Konflik-konflik yang terjadi dilihat sebagai konflik yang terjadi antar kelompok. Pendekatan ini juga melihat wilayah sebagai teritorial, yakni mengaitkan ruang-ruang bagian wilayah tertentu dengan satuan-satuan organisasi tertentu.

4. pendekatan behavioral dan kultural.

menekankan pada keterkaitan antara wilayah dengan manusia dan masyarakat yang menghuni atau memanfaatkan ruang wilayah tersebut. Pendekatan ini menekankan perlunya memahami perilaku manusia dan masyarakat dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini melihat aspek-aspek norma, kultur, psikologi masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsepsi wilayah yang berbeda.

Di samping pendekatan-pendekatan yang bersifat substansial seperti diatas, terdapat beberapa pendekatan yang bersifat instrumental. Pendekatan instrumental ini dapat dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok besar, yaitu

1. instrumen hukum dan peraturan;

mempunyai konsep atau ide dasar adanya hukum dan peraturan beserta penegakannya. Instrumen ini antara lain berupa hukum dan peraturan-peraturan seperti ijin lokasi, ijin bangunan, AMDAL dan sebagainya

2.instrumen ekonomi;

mempunyai konsep atau ide dasar adanya pengaruh ekonomi pasar yang sangat signifikan terhadap pengembangan wilayah. Contoh dari penerapan instrumen ini adalah adanya penerapan pajak, retribusi serta insentif dan disinsentif yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang

3. instrumen program dan proyek

khususnya yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah didasari atas konsep atau ide dasar pada kebutuhan-kebutuhan dasar dan kepentingan masyarakat luas. Penerapan instrumen ini seperti pembangunan sarana dan prasarana wilayah dan sejenisnya.

4. instumen alternatif.

Instrumen alternatif berdasarkan konsep atau ide dasar adanya pemberdayaan masyarakat dari kemitraan. Contoh-contoh dari penerapan instrumen ini antara lain meliputi pelatihan, pendidikan, partisipasi masyarakat, adanya proyek-proyek percontohan, penghargaaan kepada pelaku masyarakat dan swasta atau pelaku pembangunan lainnya.

d. Kawasan Pariwisata

Mukhsi (2015) menjelaskan kondisi pariwisata gunung galunggung, Tingkat kepedulian masyarakat dan pengunjung yang masih rendah dalam menjaga fasilitas dan melestarikan lingkungan alami di objek wisata cipanas dapat berdampak kerusakan. Oleh karena itu perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengunjung untuk ikut terlibat dalam upaya konservasi lingkungan. Pada objek wisata perlu diperbanyak penulisan keterangan dan sarana tempat sampah agar wisatawan merasa dipaksa untuk merasa canggung dan merasa tidak berani membuang sampah seenaknya dan melakukan hal-hal lain yang merusak lingkungan. Bila para pengunjung nyaman dengan tingkat kebersihan dan keindahan alam yang disajikan di objek wisata ini maka bukan tidak mungkin bila mereka rela membayar tiket lebih mahal dan mempromosikan objek wisata wilayah studi.

Dari berbagai gambaran pelaksanaan perencanaan pengelolaan sumberdaya lahan diatas dapat kita lihat persamaan dan perbedaan sebagai berikut:

1. Persamaan

a. Komponen kesesuaian dengan RTRW merupakan faktor yang sangat penting

b.Meningkatkan peran masyarakat untuk mau peduli dengan pengelolaan sumberdaya lahan

c. Sinergitas antar stakeholders menjadi komponen penting lainnya

2. Perbedaan

a. Masing-masing jenis wilayah memiliki faktor-faktor kekhususan tersendiri

b. perbedaan dalam hal prioritas pemanfaatan sumberdaya lahan


DAFTAR PUSTAKA

Sitorus SRP.2019.Penataan Ruang.Bogor(ID).IPB Pr.

Amelia PR, Mussadun M. 2015. Analisis Kesesuaian Rencana Pengembangan Wilayah Pulau Dompak Dengan Kondisi Eksisting Bangunan (Studi Kasus: Pulau Dompak, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau). J. Pengemb. Kota. 3(1):26.doi:10.14710/jpk.3.1.26-39.

Djunaedi A, Basuki MN. 2002. Perencanaan Pengembangan Kawasan Pesisir. J. Teknol. Lingkung. 3(3):225–231.

Eko T, Rahayu S. 2012. Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaiannya terhadap RDTR di Wilayah Peri-Urban Studi Kasus: Kecamatan Mlati. J. Pembang. Wil. Kota. 8(4):330.doi:10.14710/pwk.v8i4.6487.

Mukhsi D. 2015. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA GUNUNG GALUNGGUNG ( Studi Kasus Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya ). J. Perencanaa Wil. dan Kota. 12(1):1–11.

Samli A. 2012. Analisis Pengembangan Kota Berdasarkan Kondisi Fisik Wilayah Kota Masohi Ibukota Kabupaten Maluku Tengah. J. Plano Madani. I(1):74–85.

Sudrajat DJ. 2005. Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Limpasan Air Permukiman: Studi Kasus Kota Bogor. J. Reg. City Plan. 16(3):44–56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN