Minggu, 17 Oktober 2021

AUTOKORELASI SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN MENJADI PERUMAHAN DI KOTA PADANG PANJANG

 

ABSTRAK

Autokorelasi spasial merupakan salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar lokasi (amatan). Pada penyebaran perubahan penggunaan lahan di Kota Padang Panjang, metode ini akan memberikan informasi penting dalam menganalisis hubungan karakteristik perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi perumahan antar wilayah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis autokorelasi spasial pada data perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi perumahan di Kota Padang Panjang. Metode yang digunakan adalah uji moran’s I dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui uji moran’s I tidak terdapat autokorelasi spasial pada perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi perumahan di Kota Padang Panjang pada tahun 2019. Sementara itu melalui LISA, disimpulkan bahwa terdapat pengelompokan kelurahan yang tidak signifikan.

 

Kata kunci : Autokorelasi spasial, moran’s I, LISA, perubahan

 

PENDAHULUAN

Hukum Geografi yang dikemukan oleh Tobler menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh. Pada data spasial, seringkali pengamatan di suatu lokasi bergantung pada pengamatan di lokasi lain yang berdekatan.

Autokorelasi spasial adalah salah satu analisis spasial untuk mengetahui pola hubungan atau korelasi antar lokasi yang diamati. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam autokorelasi adalah Moran’s I, Rasio Geary’s, dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA). Dengan menggunakan metode-metode ini  akan diperoleh informasi mengenai pola penyebaran karakteristik suatu wilayah dan keterkaitan antar lokasi di dalamnya dan metode ini dapat digunakan untuk identifikasi pemodelan spasial.

Berdasarkan data Kantor Pertanahan Kota Padang Panjang pada tahun 2016 dan 2010 terjadi penurunan jumlah lahan sawah sebanyak 42,5 Ha, sedangkan pemukiman mengalami peningkatan 52,9 Ha. Fenomena ini menunjukan tinggi angka konversi lahan pertanian menjadi penggunaan lain.

Berdasarkan  kajian  teori dan permasalahan yang ada, pada penelitian ini dilakukan analisis autokorelasi spasial untuk mengetahui hubungan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman antar lokasi di Kota Padang Panjang.

METODOLOGI PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta penggunaan tanah tahun 2010 dan 2019 serta peta administrasi Kota Padang Panjang, dari peta tersebut akan diperoleh peta perubahan penggunaan tanah pertanian menjadi pemukiman pada masing-masing kelurahan.

Peta perbahan penggunaan tanah pertanian menjadi pemukiman pada masing-masing kelurahan ini yang akan dilihat autokorelasinya, apakah perubahan penggunaan lahan ini antar daerah ada kaitannya.

Autokorelasi spasial adalah taksiran dari korelasi antar nilai amatan yang berkaitan dengan lokasi spasial pada variabel yang sama. Autokorelasi spasial positif menunjukkan adanya kemiripan nilai dari lokasi-lokasi yang berdekatan dan cenderung berkelompok. Sedangkan autokorerasi spasial yang negatif menunjukkan bahwa lokasi-lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar.

Karakteristik dari autokorelasi spasial yang diungkapkan oleh Kosfeld, yaitu:

1.     Jika terdapat pola sistematis pada distribusi spasial dari variabel yang diamati, maka terdapat autokorelais spasial.

2.      Jika kedekatan atau ketetanggaan antar daerah lebih dekat, maka dapat dikatakan ada autokorelasi spasial positif.

3.      Autokorelasi spasial negatif menggambarkan pola ketetanggaan yang tidak simetris.

4.      Pola acak dari data spasial menunjukkan tidak ada autokorelasi spasial

Pengukuran autokorelasi spasial untuk data spasial dapat dihitung menggunakan metode Moran’s index (Indeks Moran), Rasio Geary’s, dan Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA).

Indeks Moran’s

Indeks Moran (Moran’s I) merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial secara global. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial. Keacakan spasial ini dapat mengindikasikan adanya pola-pola yang mengelompok atau membentuk trend terhadap ruang. Menurut Kosfeld, perhitungan autokorelasi spasial dengan metode Indeks Moran dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1.      Indeks Moran dengan matriks pembobot spasial tak terstandarisasi

  


Dengan  

 elemen pada pembobot tak terstandarisasi antara daerah i dan j

2.      Indeks Moran dengan matriks pembobo spasial terstandarisasi W

Dengan: I        : Indeks Moran

              n        : banyaknya lokasi kejadian

                   : nilai pada lokasi ke i

                     : nilai pada lokasi ke j

                      : rata-rata dari jumlah variabel atau nilai

      : elemen pada pembobot terstandarisasi antara daerah i dan j

Rentang nilai dari Indeks Moran’s dalam kasus matriks pembobot spasial terstandarisasi adalah -1 ≤ I ≤ 1. Nilai -1 ≤ I < 0 menunjukkan adanya autokorelasi spasial negatif, sedangkan nilai 0 < I ≤ 1 menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, nilai Indeks Moran’s bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok. Nilai Indeks Moran tidak menjamin ketepatan pengukuran jika matriks pembobot yang digunakan adalah pembobot tak terstandarisasi. Untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial atau tidak, dilakukan uji signifikansi Indeks Moran.

Uji hipotesis untuk Indeks Moran adalah sebagai berikut:

a.       Hipotesis

H0 : Tidak ada autokorelasi spasial

H1 : Terdapat autokorelasi spasial

b.      Tingkat Signifikansi

α

c.       Statistik uji

Dengan  


d.      Kriteria uji

Tolak H0 pada taraf signifikansi α jika  dengan adalah (1-α) kuantil dari l standar. Nilai dari indeks I adalah antara -1 dan 1. Apabila I > Io, data memiliki autokorelasi positif. Jika I < Io, data memiliki autokorelasi negatif

Moran’s scatterplot

Moran’s Scatterplot menunjukan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi yang distandarisasi dengan rata-rata nilai amatan pada lokasi yang bertetanggan dengan lokasi yang bersangkutan. Moran’s Scatterplot berupa diagram scatterplot yang terdiri dari empat kuadran. Setiap kuadran menunjukan pola hubungan spasial antar lokasi yaitu Low-Low (LL), Low-High (LH), High-Low (HL), dan High-High (HH). LL menunjukan bahwa lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. LH menunjukan bahwa lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. HL menunjukkan lokasi yang mmepunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah. Dan HH menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mepunyai nilai amatan tinggi. Gambar dibawah ini menunjukan Moran’s Scatterplot :


LISA (Local Indicator of Spasial Autocorrelation)

Moran’s I juga dapat digunakan untuk pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal (Local autocorrelation) atau korelasi spasial pada setiap daerah. Semakin tinggi nilai lokal Moran’s, memberikan informasi bahwa wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang hampir sama atau membentuk suatu penyebaran yang mengelompok. Identifikasi Moran’s I tersebut adalah Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA), yang indeksnya dinyatakan dalam persamaan berikut :

Dimana

Pengujian terhadap paarmeter Ii dapat dilakukan sebagai berikut:

a.       Hipotesis

H0  : Ii = 0 ( tidak ada autokorelasi antar lokasi)

H1 : Ii  ≠ 0 ( ada autokorelasi antar lokasi)

b.      Taraf signifikansi (α)

c.       Statistik uji

Variansi dari I0 adalah sebagai berikut: 


Dimana

 

d.      Kriteria Uji

Tolak H0 jika . Hubungan antara indeks Moran’s dengan LISA adalah sebagai berikut  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis dari perubahan lahan pertanian yang berubah menjadi lahan pemukiman dapat dilihat pada tabel 1. Pada Tabel tersebut dapat dilihat bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi pemukiman seluas 616.143 m2 atau 4,6 dari luas total lahan pertanian di tahun 2010.

Kelurahan Pasar Baru adalah wilayah yang mengalami persentase konversi lahan yang paling tinggi yaitu sebesar 46 % hal ini kemungkinan terjadi karena kelurahan pasar baru adalah wilayah pusat perekonomian di Kota Padang Panjang sehingga banyak lahan pertaniannya terkonversi menjadi penggunaan lain terutama untuk pemukiman.

Kelurahan Bukit Surungan juga mengalami persentase konversi lahan pertanian menjadi pemukiman yang cukup tinggi yaitu sebesar 21,2 %, hal ini dimungkinkan terjadi karena beberapa  faktor yaitu di kelurahan bukit surungan terdapat terminal bus dan pasar khusus komoditi hortikultura

Selain dua kelurahan tadi persentase konversi lahan pertanian menjadi pemukiman yang tinggi juga terjadi di kelurahan silaing bawah sebesar 11,8 %, kelurahan kampung manggis 10,8 % dan kelurahan koto panjang 10,5 %. Pada ketiga wilayah tersebut terdapat komplek-komplek perumahan baru yang mengkonversi lahan pertanian.

Tabel.1. Luas Perubahan lahan pertanian menjadi perumahan tahun 2010-2019

No

Kelurahan

Luas lahan pertanian 2010 (m2)

Luas Perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman(m2)

%

1

Kel. Balai Balai

                                       63,294

                                4,651

7.3

2

Kel. Bukit Surungan

                                     711,535

                            150,631

21.2

3

Kel. Ekor Lubuk

                                 1,982,873

                                4,231

0.2

4

Kel. Ganting

                                 2,997,215

                                8,002

0.3

5

Kel. Guguk Malintang

                                     897,082

                              78,503

8.8

6

Kel. Kampung Manggis

                                     911,129

                              98,024

10.8

7

Kel. Koto Katiak

                                     318,335

                              12,128

3.8

8

Kel. Koto Panjang

                                     476,960

                              49,874

10.5

9

Kel. Ngalau

                                 1,494,159

                              29,415

2.0

10

Kel. Pasar Baru

                                         1,360

                                    626

46.0

11

Kel. Pasar Usang

                                     535,138

                              50,210

9.4

12

Kel. Sigando

                                 1,530,910

                                3,080

0.2

13

Kel. Silaing Atas

                                     503,267

                              10,721

2.1

14

Kel. Silaing Bawah

                                     898,767

                            105,647

11.8

15

Kel. Tanah Hitam

                                     134,363

                                6,489

4.8

16

Kel. Tanah Paklambiak

                                       44,393

                                3,911

8.8

 

Jumlah

                               13,500,782

                            616,143

 

 

Nilai Moran’s I

Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi spasial dengan Moran’s I (Gambar.1) dengan kriteria pengujian yaitu tolak H0 pada taraf signifikasi α jika Z(I) > Z1- α . Dengan menggunakan taraf signifikansi 95% maka diperoleh nilai Z1-α = Z0,95 = 1,645 sehingga diketahui bahwa nilai Z(I) = 0,663329 < Z1- α = 1,645, maka keputusannya gagal tolak H0 , artinya tidak terdapat autokorelasi spasial pada luas perubahan penggunaan lahan sawah menjadi pemukiman pada satu kelurahan dan kelurahan  lain di Kota Padang Panjang. Namun nilai statistik Moran’s I sebesar 0,054973 berada rentang 0 < I ≤ 1 yang artinya menunjukkan adanya pola autokorelasi spasial positif.

 


Gambar 2 merupakan Moran’s scatterplot yang menunjukkan pola luas perubahan penggunaan lahan sawah menjadi pemukiman pada satu kelurahan dan kelurahan lain di Kota Padang Panjang.

Gambar 2. Moran’s scatterplot

Tabel 2 menunjukkan hasil Moran’s Scatterplot untuk kasus perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman di Kota Padang Panjang. Kuadran I (High-High) dengan wilayah Kelurahan Pasar Usang, Kelurahan Guguk Malintang, Kelurahan Silaing Bawah, Keluarahan Bukit Surungan merupakan wilayah dengan sifat autokorelasi spasial yang tinggi dan dikelilingi oleh wilayah sekitarnya yang mempunayi autokorelasi spasial yang tinggi pula.

Tabel 2 Hasil Moran’s Scatterplot

 

Kuadran I (HH)

Kelurahan Pasar Usang, Kelurahan Guguk Malintang, Kelurahan Silaing Bawah, Keluarahan Bukit Surungan

Kuadran II (LH)

Kelurahan Tanah Hitam, Kelurahan Pasar Baru, Keluarahan Silaing Atas

Kuadran III (LL)

 

Keluarahan Ngalau, Kelurahan Ekor Lubuk, Kelurahan Sigando, Kelurahan Koto Katiak, Kelurahan Gantiang, Kelurahan Tanah Paklambiak, Kelurahan Balai Balai

Kuadran IV (HL)

Kelurahan Kampung Manggis, Kelurahan Koto Panjang

 

Nilai Local Indicator of Spasial Autocorrelation (LISA)

Untuk mengetahui signifikansi autokorelasi spasial secara lokal adalah melalui LISA. Dari pengujian ini akan didapatkan signifikansi secara lokal pada masing-masing kabupaten/kota.

Tabel 3 menunjukkan nilai moran’s I lokal dan value pengujian LISA. Dapat diketahui bahwa Kelurahan Silaing Atas mempunyai moran’s I tertinggi yaitu sebesar 0,0018, berdasarkan nilai dari P value semua kelurahan tidak mempunyai efek autokorelasi dengan wiayah lainnya.

Tabel 3 nilai indeks LISA pada setiap wilayah

No

Kelurahan

LISA

Pvalue

1

Kel. Tanah Hitam                                 

-0.000817

0.503

2

Kel. Silaing Bawah                               

0.000775

0.332

3

Kel. Ekor Lubuk                                  

0.000111

0.820

4

Kel. Ngalau                                       

0.000340

0.694

5

Kel. Ganting                                     

0.000208

0.746

6

Kel. Kampung Manggis                             

0.000696

0.400

7

Kel. Silaing Atas                                

-0.001849

0.136

8

Kel. Tanah Paklambiak                             

0.001328

0.320

9

Kel. Balai Balai                                 

0.000525

0.762

10

Kel. Koto Katiak                                 

0.000254

0.750

11

Kel. Bukit Surungan                              

-0.000849

0.760

12

Kel. Sigando                                     

0.000332

0.540

13

Kel. Guguk Malintang                             

0.000439

0.654

14

Kel. Koto Panjang                                

-0.000433

0.850

15

Kel. Pasar Usang                                  

0.000006

0.847

16

Kel. Pasar Baru                                  

-0.000021

0.885

 

KESIMPULAN

1. terjadi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi pemukiman seluas 616.143 m2 atau 4,6 dari luas total lahan pertanian di tahun 2010

2. Angka moran’s I adalah sebesar 0,0549 dan tidak menunjukkan adanya autokorelasi spasial (tidak ada hubungan antara lokasi yang satu dengan yang lain). Sementara dengan LISA, didapat kesimpulan bahwa antara satu kelurahan dengan kelurahan tidak mempunyai efek autokorelasi signifikan terhadap perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Wuryandari, Triastuti. 2014. identifikasi autokorelasi spasial pada jumlah pengangguran di jawa tengah menggunakan indeks moran. Media Statistika, Vol. 7, No. 1, Juni 2014: 1-10.

2.      Dwi Bekti, Rokhana. 2012. Autokorelasi Spasial untuk Identifikasi Pola Hubungan Kemiskinan di Jawa Timur. ComTech Vol.3, No.1, Hal:217-227.

ANALISIS MODEL PERSAMAAN PERTUMBUHAN

 

Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan (disamping pemertaan dan keberlanjutan). Semakin tinggi nilai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dinyatakan semakin berhasil.Pola pertumbuhan/ peluruhan antar waktu bersifat linier maupun non linier.

·    Linier            : diskret & kontinu

·    Non linier      : eksponensial, log, saturation

Berdasarkan data LQ diketahu bahwa Kota Padang Panjang adalah daerah yang tidak memiliki keungulan komparatif dalam bidang pertanian dan berdasar data differential shift menunjukan daerah ini juga tidak memiliki keunggulan kompetitif dibidang pertanian. Kondisi ini dihadapkan dengan makin meningkatnya kebutuhan padi. Berikut adalah pertumbuhan kebutuhan padi dari tahun 2015 dan prediksi sampai tahun 2040 yang akan dilihat model pertumbuhannya.


Berdasarkan data diatas dilakukan analisis untuk menentukan model mana yang paling mendekati dari data yang ada, diperoleh hasil sebagai berikut:

Dari ketiga jenis model pertumbuhan tersebut yang memiliki nilai R2 tertinggi adalah model eksponensial yaitu 0,9917 dengan standar error 66,78, jadi pertumbuhan kebutuhan padi di Kota Padang Panjang berbentuk pertumbuhan eksponensial.Perbandingan grafik untuk masing-masing jenis model pertumbuhan dapat dilihat dibawah ini.








ANALISIS KLUSTER

 

Tujuan dilakukan zoning untuk efisiensi pengelolaan wilayah (administratif dan pembangunan) atau membangun kebijakan tertentu. Tujuan utama analisis cluster adalah mengelompokkan objek-objek berdasarkan kesamaan karakteristik di antara objek-objek tersebut. Objek tersebut akan diklasifikasikan ke dalam satu atau lebih cluster (kelompok) sehingga objek-objek yang berada dalam satu cluster akan mempunyai kemiripan satu dengan yang lain. Berdasarkan data PDRB Provinsi Sumatera Barat dilakukan pengelompokan kabupaten/kota yang memiliki karakteristik yang mirip, hasilnya adalah sebagai berikut.

Berhirarki


Berdasarkan analisis kluster berhirarki dapat dilihat bahwa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Dibagi dalam 2 kelompok

Kelompok 1 : Kota Padang

Kelompok 2 : selain Kota Padang

2. Dibagi dalam 3 kelompok

Kelompok 1: Kota Padang

Kelompok 2: Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Lima Puluh, Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pesisir Selatan

Kelompok 3: Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kabupaten Sawahlunto, Kota Solok, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai

3. Dibagi dalam 5 kelompok

Kelompok 1: Kota Padang

Kelompok 2: Kabupaten Padang Pariaman

     Kelompok 3: Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten  Solok, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pesisir Selatan

                     Kelompok 4: Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kabupaten Sawahlunto, Kota Solok

Kelompok 5: Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai

4. Dibagi dalam 8 kelompok

Kelompok 1: Kota Padang

Kelompok 2: Kabupaten Padang Pariaman

Kelompok 3: Kabupaten Agam

                     Kelompok 4: Kabupaten Pasaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pesisir Selatan

Kelompok 5: Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi

Kelompok 6: Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kota Sawahlunto, Kota Solok

Kelompok 7: Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Sijunjung

Kelompok 8: Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai


Tidak berhirarki



Dengan menentukan 4 kelompok yang akan dihasilkan diperoleh data seperti tabel diatas. Tabel ANOVA memperlihatkan variabel  pengeluaran, IPM tidak memberikan pengaruh penting karena nilai signifikan nya lebih dari 0,05 (derajat kesalahan 5%).Variabel ini dikeluarkan dari analisis dan dilakukan analisis kembali.


Hasil analisis lanjutan setelah variabel  pengeluaran, IPM dikeluarkan dari analisis adalah sebagai berikut:


Setelah dilakukan analisis ulang didapat perubahan nilai jarak dari masing-masing anggota kelompok. Dari nilai ANOVA dapat dilihat bahwa semua variabel adalah variabel penting karena memiliki nilai signifikan lebih kecil dari 5%.













ANALISIS GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (GWR)

 

GWR  merupakan model regresi linier bersifat lokal yang menghasilkan penaksir parameter model yang bersifat lokal.Setiap titik atau lokasi dimana data tersebut dikumpulkan, sehingga setiap titik lokasi geografis mempunyai nilai parameter regresi yang berbeda-beda.

Berdasarkan data entropy diatas diketahui bahwa sektor pertanian adalah sektor yang paling merata perkembangannya di Kabupaten Pasaman Barat.Dalam tulisan ini akan dilihat salah satu faktor penunjang pertanian yaitu jumlah penggilingan padi, akan dilihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi jumlah penggilingan padi di masing-masing kecamatan. Variabel bebas yang digunakan adalah luas tanam padi sawah, luas penen padi sawah, luas tanam padi ladang, luas panen padi ladang dan luas wilayah dengan menggunakan GWR.










Analisis ketimpangan antar unit (Kasus: Kabupaten Pasaman Barat)

 

Berdasarkan data indeks entropy Kabupaten Pasaman Barat dapat dilihat bahwa pada terjadi peningkatan pemerataan tingkat penyebaran aktivitas, hal ini diketahui dari peningkatan nilai indeks entropy dari tahun 2018 sebesar 0,68 menjadi 0,7 pada tahun 2019.




Analisis keunggulan kompetitif Provinsi Sumatera Barat

Keunggulan berkompetisi diukur dari tingkat pertumbuhan.Dilihat dari penyebabnya, koefisien pertumbuhan didekomposisikan menjadi 3, yaitu sebab yang bersumber dari dinamika keragaan yaitu:

·      Wilayah secara agregat

·      Sektor secara agregat

·      Unit wilayah terkecil (dalam analisis) secara sektoral

Tiga komponen pertumbuhan adalah:

·   Komponen laju pertumbuhan total (Regional share) komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu.

·  Komponen pergeseran proporsional (Proportional Shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah.

·   Komponen pergeseran diferensial (Differential Shift). Komponen ini menjelaskan tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor atau aktifitas tersebut dalam wilayah.

Berdasarkan nilai regional share diketahui bahwa pertumbuhan total seluruh sektor di Provinsi Sumatera Barat sebesar 0,069, sedangkan dari nilai proportional shift diketahui bahwa sektor yang mengalami pertumbuhan adalah pertambahan dan penggalian, Konstruksi, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Real Estate, Jasa Perusahaan, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, Jasa Lainnya. Sektor yang mengalami penurunan adalah pertanian, perikanan dan kehutanan, Industri Pengolahan, Pengadaan Listrik dan Gas, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Transportasi dan Pergudangan dan jasa keuangan dan asuransi.

Tabel 1 Differential shift Provinsi Sumatera Barat

Tabel 2 SSA Provinsi Sumatera Barat

Berdasarkan nilai SSA pada Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa untuk sektor Konstruksi, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi, Real Estate, Jasa Perusahaan, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, Jasa Lainnya memiliki keunggulan kompetitif diseluruh wailayah, hal ini dapat diketahui dari nilai SSA yang positif di semua wilayah.

        Sektor Transportasi dan Pergudangan memiliki keunggulam kompetitif diseluruh wilayah kecuali di Kabupaten Padang Pariaman karena memiliki nilai SSA yang negatif. Sektor pengadaan listrik dan gas tidak memiliki keunggulan kompetitif di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Dharmasraya dan Kota Solok. Sektor Pertambangandan galian tidak memilki keunggulam kompetitif di Kota Solok dan Kota Bukittinggi.Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan tidak memiliki keunggulan kompetitif di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh dan Kabupaten Pasaman Barat.


Selasa, 12 Oktober 2021

Analisis keunggulan komparatif Provinsi Sumatera Barat

Location Quotient(LQ)

LQ digunakan untuk menunjukkan:

·      Lokasi pemusatan aktivitas atau sektor basis

·      Kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah

·      Tingkat kecukupan barang atau jasa dari produksi lokal suatu wilayah

Kriterianya adalah sebagai berikut:

a.       Jika nilai LQij> 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i.

b.      Jika nilai LQij= 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total.

c.       Jika LQij< 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.

Berdasarkan data PDRB Provinsi Sumatera Barat tahun 2019 dilakukan analisis LQ untuk melihat sektor mana yang memiliki keunggulan komparatif. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Analisis LQ Sektor PDRB di Provinsi Sumatera Barat


Tabel 1 menunjukkan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang memiliki keunggulan komparatif di 11 kabupaten di Provinsi Sumatera Barat  yaitu di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Pasaman Barat karena memiliki nilai LQ lebih besar dari 1. Dari 11 kabupaten tersebut, nilai LQ sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terbesar terdapat di Kabupaten Pasaman dengan nilai 2,16.

Sektor pertambangan dan penggalian memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Solok, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya, dimana nilai LQ paling besar di Kabupaten Sijunjung, yaitu 3,31.Sektor industri pengolahan memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Padang, Kota Padang Panjang dan Kota Sawahlunto, dimana nilai LQ paling besar di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 1,56.

Sektor pengadaan listrik dan gas memiliki keunggulan komparatif di Kota Padang, Kota Bukitinggi dan Kota Sawahlunto, dimana nilai LQ paling besar di Kota Sawahlunto, yaitu 18,34. Sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi  dan Kota Sawahlunto, dimana nilai LQ paling besar di Kota Sawahlunto yaitu 4,3.

Sektor Konstruksi memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar, Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kota Padang,Kota Sawahlunto, Kota Payakumbuh dan Kota Pariaman, dimana nilai LQ paling besar di Kota Pariaman, yaitu 1,54. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Agam, Kabupaten Solok Selatan, Kota Padang, Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh, dimana nilai LQ paling besar di Kota Bukittinggi, yaitu 2,1.

Sektor Transportasi dan Pergudangan memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh, dimana nilai LQ paling besar di Kabupaten Padang Pariaman, yaitu 2,4. Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman dan Kota Sawahlunto, dimana nilai LQ paling besar di Kota Bukittinggi, yaitu 4,2.

Sektor Informasi dan Komunikasi memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya dan Kota Sawahlunto, dimana nilai LQ paling besar di Kota Padang Panjang, yaitu 1,5. Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi dan Kota Sawahlunto, dimana nilai LQ paling besar di Kota Payakumbuh, yaitu 1,9.

Sektor Real Estate memiliki keunggulan komparatif di Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman dan Kabupaten Dharmasraya, dimana nilai LQ paling besar di Kota Bukitinggi, yaitu 1,7. Sektor Jasa Perusahaan, Administrasi Pemerintahan memiliki keunggulan komparatif di Kota Padang dan Kota Bukitinggi dimana nilai LQ paling besar di Kota Padang yaitu 3,3.

Sektor Real Estate memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Pasaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi, Kota Pariaman dan Kabupaten Dharmasraya, dimana nilai LQ paling besar di Kota Bukitinggi, yaitu 1,7.Sektor Jasa Perusahaan,Administrasi pemerintahan memiliki keunggulan komparatif di Kota Padang dan Kota Bukitinggi dimana nilai LQ paling besar di Kota Padang, yaitu 3,3.

Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi dan Kota Sawahlunto, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Dharmasraya  dimana nilai LQ paling besar di Kota Sawahlunto, yaitu 1,9. Sektor Jasa Pendidikan memiliki keunggulan komparatif di Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kota Solok, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh dan Kota Pariaman dimana nilai LQ paling besar di Kota Padang Panjang, yaitu 2,2.

Sektor yang memiliki keunggulan komparatif pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Sektor yang Memiliki Keunggulan Komparatif di Kabupaten/Kota Provinsi  Sumatera Barat

Kabupaten

Sektor PDRB

Kabupaten Mentawai

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; Konstruksi; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib;

Kabupaten Pesisir Selatan

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; Konstruksi; Informasi dan Komunikasi; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

Kabupaten Solok

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pertambangan dan Penggalian, Informasi dan Komunikasi,

Kabupaten Sijunjung

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pertambangan dan Penggalian, Konstruksi, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

Kabupaten Tanah Datar

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Industri Pengolahan, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Konstruksi, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

Kabupaten Padang Pariaman

Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Transportasi dan Pergudangan, Jasa Pendidikan

Kabupaten Agam

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Industri Pengolahan, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Jasa Pendidikan

Kabupaten Limapuluh Kota

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pertambangan dan Penggalian,

Kabupaten

Sektor PDRB

Kabupaten Pasaman

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

Kabupaten Solok Selatan

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pertambangan dan Penggalian, Konstruksi, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

Kabupaten Dharmasraya

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pertambangan dan Penggalian, Konstruksi, Informasi dan Komunikasi, Real Estate, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

Kabupaten Pasaman Barat

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Industri Pengolahan

Kota Padang

Industri Pengolahan, Pengadaan Listrik dan Gas, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Konstruksi, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi, Real Estate, Jasa Perusahaan, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial dan Jasa Lainnya

Kota Solok

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Konstruksi, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi, Real Estate,  Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial dan Jasa Lainnya

Kota Sawahlunto

Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Pengadaan Listrik dan Gas, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Konstruksi, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Lainnya

Kota Padang Panjang

Industri Pengolahan, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang,  Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi, Real Estate, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Pendidikan, Jasa Lainnya

 

 

 

Kabupaten

Sektor PDRB

Kota Bukittinggi

Pengadaan Listrik dan Gas, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi, Real Estate, Jasa Perusahaan, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial dan Jasa Lainnya

Kota Payakumbuh

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Konstruksi, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi, Real Estate, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial dan Jasa Lainnya

Kota Pariaman

Konstruksi, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Real Estate, Jasa Pendidikan dan Jasa Lainnya

 

Locational Index(LI)

LI digunakan untuk menentukan wilayah yang potensial untuk mengembangkan aktifitas tertentu.

·      Jika nilainya mendekati 0 berarti perkembangan suatu aktifitas cenderung memiliki tingkat yang sama dengan perkembangan wilayah dalam cakupan lebih luas. Tingkat perkembangan aktifitas akan relatif berbeda di seluruh lokasi. Artinya aktifitas tersebut mempunyai peluang tingkat perkembangan relatif sama di seluruh lokasi

·      Jika nilainya mendekati 1 berarti aktifitas yang diamati akan cenderung berkembang memusat di suatu lokasi. Artinya aktifitas yang diamati akan berkembang lebih baik jika dilakukan di lokasi-lokasi tertentu

Tabel 2 Nilai LI Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat 

 

Berdasarkan nilai LI dapat dilihat bahwa sektor yang mendekati 1 adalah sektro jasa perusahaan  sebesar 0,619 dan pengadaan listrik dan gas sebesar 0,648. Hal ini berarti sektor tersebut cenderung berkembang memusat di suatu lokasi. Berdasar nilai LQ sektor jasa perusahaan paling besar di Kota Padang sedangkan sektor pengadaan listrik dan gas di Kota Sawahlunto, hal ini berarti sektor jasa perusahaan akan berkembang lebih baik di Kota Padang sedangkan sektor pengadaan listrik dan gas akan berkembang lebih baik di Kota Sawahlunto.

Specialization Index(SI)

SI digunakan untuk melihat kespesialan atau kekhasan suatu subwilayah tertentu. Kriteria dalam interpretasi SI adalah sebagai berikut:

·      Jika nilainya mendekati 0 berarti tidak ada kekhasan. Artinya sub wilayah yang diamati tidak memiliki aktifitas khas yang relatif menonjol perkembangannya dibandingkan dengan di sub wilayah lain.

·      Jika nilainya mendekati 1 berarti terdapat kekhasan. Artinya sub wilayah yang diamati memiliki aktifitas khas yang perkembangannya relatif menonjol dibandingkan dengan di sub wilayah lain.

Tabel 3 SI Provinsi Sumatera Barat


Berdasarkan nilai SI diatas dapat dilihat bahwa di Kota Buktinggi dan Kabupaten Pasaman nilai SI nya lebih mendekati 1 dibandingkan daerah lain ini berarti terdapat kekhasan, artinya wilayah ini memiliki aktifitas khas yang perkembangannya relatif menonjol dibandingkan dengan di wilayah lain. Berdasarkan nilai LQ, Kota Bukittinggi memiliki sektor pengadaan listrik dan gas sedangkan Kabupaten Pasaman memiliki sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebagai sektor yang perkembangannya lebih menonjol dibanding sektor lain.










TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN