Selasa, 18 April 2023
UNTUK ANAKKU
Rabu, 02 November 2022
Politik pertanahan kolonial
Agrarisch Wet 1870 dan Domein verklaring
Domein Verklaring adalah pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut Agrarische Wet, inti pelaksanaannya adalah tanah yang tidak nyata diokupasi dan tanah yang diokupasi tapi tidak dapat menunjukan bukti kepemilikan maka menjadi milik negara (Belanda). Agrarisch Wet lahir dari pemikiran untuk menjamin kepentingan tanah kaum pemodal seluas-luasnya dan bagaimana melindungi hak-hak rakyat atas tanah. Persoalan yang muncul adalah dengan melindungi hak-hak rakyat atas tanahnya akan mengurangi atau akan menghambat perkembangan dan kepentingan modal asing. Disisi lain usaha menjamin kepentingan dan keuntungan modal besar asing, akan merugikan rakyat karena yang menjadi objeknya sama yaitu tanah.
Hal diatas menjadi masalah
bagi Belanda, beberapa menteri jajahan Belanda mencoba memecahkan masalah ini. Pada akhirnya menteri De Waal yang berhasil yaitu dengan diterimanya rancangan
Undang- undangnya oleh Parlemen Negeri Belanda menjadi undang- undang yaitu
lahirnya Agraris Wet (Undang-undang Agraria) pada 9 April 1870. Lahirnya undang-undang Agraria 1870
itu mempunyai riwayat yang panjang.
Pada tahap awal Menteri Jajahan Fransen Van de
Putte pada tahun 1865 merancangkan satu undang-undang
dengan nama “Ontwerp Cultuurwet”. Rancangan
Undang-undang ini dinamakan oleh perancangnya sebagai jalan pemecahan masalah
kolonial dengan cara:
a. Memberikan bantuan yang diperlukan kepada perusahaan pertanian partikelir Barat, dengan:
1. pemberian tanah-tanah bebas (woeste gronden) milik Negara dengan erpacht selamanya 99 tahun
2. Persewaan tanah milik Indonesia kepada bangsa asing selamanya 10 tahun
3. Peraturan perjanjian kerja dengan orang-orang Indonesia
b. Perlindungan hak-hak tanah bagi rakyat Indonesia.
Rancangan itu dimulai dengan pemberian hak tanah rakyat Indonesia dari hak “erfelijk individueel gebruiks/bezits recht” menjadi hak eigendom dan pengakuan hak desa atas tanah-tanah yang biasa dikerjakan rakyat dalam waktu yang tertentu, yang biasa dinamakan tanah komunal. Hak-hak eigendom menurut rancangan ini didasarkan pada hak-hak menurut buku Undang-undang Hukum Perdata Hindia Belanda kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan hukum agama dan adat. Maksud Van de Putte mempersamakan hak-hak tanah bangsa Indonesia dengan hak eigendom bangsa Barat, supaya hak tanah Indonesia lebih kuat untuk menjaga dari tindakan semau-maunya pihak pemerintah dengan hak domeinnya atas tanah yang bukan eigendom. Pasal 12 rancangan ini menerangkan bahwa tanah milik eigendom rakyat tidak boleh dijual kepada orang yang bukan bangsa Indonesia, kecuali dengan izin perkecualian karena hal-hal yang luar biasa.
Pelanggaran atas hal ini dapat dinyatakan tidak sah atas jual beli yang sudah dijalankan. Untuk persewaan tanah antara bangsa Indonesia dengan orang asing diperlukan surat perjanjian dengan ketentuan tidak boleh lebih lama dari 10 tahun, dengan persetujuan Kepala Pemerintah Gewes atau Kepala Daerah. Pasal 4 menyebutkan bahwa tanah-tanah untuk rumah-rumah, bangunan, jalan-jalan, pasar-pasar, air pipa dan semua bangunan-bangunan untuk kepentingan umum, yang pemeliharaannya dijalankan oleh desa, masuk lingkungan kekuasaan desa. Pasal 5 rancangan ini mengakui kedudukan hukumnya “Desa Perdikan” dan tanah-tanah lainnya yang dianggap keramat.
Pasal 6 merupakan permulaan Domeinverklaring yaitu semua
tanah yang tidak termasuk dalam pasal-pasal di muka, yang sebelum berlakunya
undang-undang itu, tidak dapat dinyatakan dengan hak eigendom maka menjadi kepunyaan negeri. Dari pengalamannya puluhan tahun di tengah-tengah masyarakat Indonesia
di Jawa sebagai orang di pabrik gula (suiker fabrikant), Van de Putte mengenal
adat-adat yang ada di daerah Jawa, bahwa menurut hukum adat, rakyat mempunyai
hak atas tanah-tanah yang masih bebas belum diusahakan, yaitu hak buka tanah
(ontginning srecht), dan dengan jalan itu dapat menerima hak milik, serta hak
mengambil hasil hutan.
Pasal 18 berisi peraturan bahwa rakyat
yang hendak membuka tanah kosong kepunyaan negeri harus minta izin kepada
Pembesar Daerah. Pasal 19 menerangkan pengakuan atas tanah tadi dengan hak
memakai. Kalau tanah itu akan diambil harus diganti rugi. Rancangan
Undang-undang ini dengan jelas mengatur perlindungan milik rakyat, disamping
memberikan jaminan secukup-cukupnya untuk kepentingan onderneming. Rancangan
Undang-undang itu juga memuat tentang hutan-hutan kepunyaan Negeri (domaniale
bosschen) dan perkebunan Negeri, yang menurut R.R. pasal 56 masih diteruskan.
Dengan rancangan Undang-undang itu dimaksudkan akan dapat memecahkan masalah
penjajahan bagi kedua pihak dan menentukan batas-batas yang terang antara
tanah-tanah yang didiami dan diusahakan Rakyat, dengan tanah-tanah di luar itu
yang menjadi tanah Negeri yang bebas. Rancangan Undang-undang Fransen van de
Putte akhirnya ditolak oleh Parlemen, diantaranya karena oposisi dari kawan
separtainya yaitu Torbecke.
Parlemen dalam pemandangan umum selama
14 hari (1-17 Mei 1866) berputar kepada pembicaraan pasal 1, dan
karena pasal 1 itulah Parlemen menolaknya. Suara terbanyak dalam Parlemen
menentang maksud pasal 1 itu, yang akan memberikan hak eigendom atas tanah-tanah milik rakyat, karena katanya tidak sesuai hak Barat dikenakan bagi
masyarakat Indonesia. Amandemen Poortman menghendaki supaya kepada bangsa
Indonesia tidak diberi hak eigendom atas tanahnya, tetapi dijamin dengan hak
turun temurun. Oleh karena maksud Van de Putte adalah pemberian hak
eigendom atas tanah bagi Rakyat Indonesia, dia tidak dapat menerima amandemen
Poortman. Dia menarik rancangan Undang-undangnya dan mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Menteri Jajahan. Mr. P. Meyer, Menteri jajahan yang
mengantikannya (dari golongan konservatif) segera mengadakan peraturan sementara yang segera diumumkan oleh Gubernur Jenderal, terkenal dengan nama
“Proclamatie des Konings” (Indisch Staatsblad 1866 No. 80), menyatakan dengan
resmi hak-hak orang Indonesia atas tanah dengan hak perseorangan
turun-temurun dan hak memakai tanah desa, dengan jaminan bahwa akan dijaga
benar-benar terhadap pelanggaran atas hak-haknya dari pihak manapun.
Rancangan Undang-undang Erfpacht Meyer
Trakranen untuk memajukan onderneming pertanian modal besar asing. Menteri
Jajahan Meyer, mengajukan rancangan undang-undang yang lebih terbatas dari
rancangan Cultuurwet Van de Putte, maksudnya hanya untuk memberikan tanah-tanah
yang berupa semak belukar dengan hak erfpacht. Meyer diangkat menjadi Gubernur
Jenderal. Dalam tahun itu juga rancangan Undang-undang Meyer dioper oleh
penggantinya N. Trakranen. Sejak itu rancangan Undang-undang tersebut terkenal
dengan nama rancangan Undang-undang Erfpacht Meyer Trakranen (tahun 1866/1867).
Rancangan Undang-undang Erfpacht
Meyer/Trakranen ditolak oleh perlamen, karena dianggap tidak penting. Perdebatan
mengenai persoalan “tanah-tanah kepunyaan penduduk yang mana yang
dikecualikan dari pemberian erfpacht waktu membicarakan rancangan itu, memberi
juga bahan untuk isi peraturan-peraturan yang dirancangkan kemudian oleh
Menteri de Waal. Pada tahun 1868 E De Waal (dari golongan Liberal) menjadi
menteri Jajahan.
Akhirnya dialah yang berhasil dapat
menyelesaikan masalah kolonial dalam hal tanah. Rancangannya dapat
diterima menjadi Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 9 April 1870. Usahanya
berhasil, karena dia mencari akal dengan pembatasan rancangannya. Dia tidak
mengajukan rancangan yang luas dengan Undang- undang yang tersendiri. Kepada
Parlemen sebagai Badan Politik dia hanya mengemukakan 5 dasar-dasar yang
dianggap pokok harus diselesaikan. Peraturan dan pelaksanaan lebih luas akan diatur dengan Peraturan Umum (Algemeene
verordening) sebagai peraturan yang tidak usah ditentukan dalam Parlemen. Cara
ini dianggap akan lebih menyempurnakan isi peraturan yang diadakan, karena
pengertian keadaan daerah lebih luas dan dalam dari pada orang-orang di
pemerintah Pusat (Negeri Belanda). De Waal sendiri segera mengajukan usul
memasukkan ke dalam Koninklijk Besluit yang pertama, dan masuklah isi rancangan
itu dalam “Agrarisch Besluit” 20 Juli 1870, sebagai peraturan dari 5 pokok
dalam undang-undang yang singkat.
Pihak Parlemen umumnya keberatan
dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan selanjutnya hanya akan ditetapkan
oleh Badan-badan Pembuat Undang-undang yang rendah. Begitu juga bekas Gubernur Jenderal.
Duymaer van Twist, sekalipun menyetujui rancangan itu dalam Eerste Kamer. Memang
menurut pengalaman Duymaer van Twist sendiri sebagai Gubernur Jenderal di
Indonesia, tidak mungkin Parlemen di Negeri Belanda akan dapat mengatur soal-soal
lebih jauh daripada soal-soal pokok tentang keadaan di Indonesia.
Pengakuan akan hak rakyat atas tanah
serta peraturan yang mengatur pemberian tanah yang belum dibuka (niet ontgonnengronden), dengan hak erfpacht dan tanah-tanah yang sudah dibuka
(tanah-tanah kepunyan Rakyat) dengan perjanjian persewaan suka rela, dianggap
sudah cukup dapat memecahkan masalah yang pokok. Ditambahkannya 5 ayat lagi
dalam pasal 62 R.R. (pasal 51 dari Indische Staatsregeling) dengan ayat 4
sampai 8, dianggap sudah dapat dipecahkan masalah kolonial yang besar dan
sulit itu. Pasal 51 I.S. ayat 4 memuat pemberian tanah dengan hak erfpacht buat
waktu yang panjang (dengan maksimum 75 tahun). Ayat 8 memuat tentang: persewaan
tanah milik orang Indonesia oleh orang asing yang akan diatur dalam Peraturan
Umum. Bunyi ayat 4 : “Dengan Undang-undang akan diberikan tanah dengan hak turun-temurun (erfpacht) untuk selama-lamanya 75 tahun”. Ayat 8 berbunyi :
“Persewaan tanah dari rakyat Indonesia kepada orang asing berlaku menurut
Undang-undang”.
Dengan adanya peraturan-peraturan itu,
dianggap sudah cukup menjamin kepentingan modal besar partikelir Barat untuk
mendapatkan tanah baik untuk kepentingan tanaman keras (dengan hak erfpacht)
maupun untuk tanaman giliran (dengan peraturan persewaan). Dikatakan juga,
dengan begitu berarti memberikan hak-hak rakyat lebih luas akan tanah yaitu dengan
hak menyewakan itu diartikan lebih besar haknya atas tanah. Ayat 5 berbunyi Gubernur Jenderal
menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak Rakyat
Indonesia dan selanjutnya ayat 6 berbunyi Gubernur Jenderal tidak boleh
mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan
mereka sendiri atau untuk keperluan lain, kecuali untuk kepentingan umum,
berdasarkan pasal 133 I.S dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan
oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu.
Semuanya itu dengan pemberian pengganti
kerugian yang layak, ayat 5 dan 6 di atas bermaksud melindungi hak rakyat.
Ayat 7 memberi kemungkinan untuk mendapatkan hak yang lebih kuat bagi orang
Indonesia, dengan peraturan bahwa gebruiksrecht (hak memakai) dapat diganti
hak eigendom. Ayat 7 berbunyi tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat
Indonesia dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan syarat-syarat
dan pembatasan yang diatur dalam undang-undang dan harus tercantum dalam surat
tentang tanda eigendom itu, yaitu yang mengenai kewajiban-kewajiban pemilik
tanah itu kepada Negara dan Desa dan pula tentang hak menjualnya kepada orang
yang bukan orang Indonesia. Tentang pemberian hak eigendom kepada Rakyat Indenesia atas tanahnya, sebelumnya itu juga diajukan dalam rancangan Cultuurwet
van de Putte. Tetapi mengingat tantangan dalam Parlemen, De Waal mengajukan
rancangannya mengenai pemberian hak eigendom kepada Rakyat itu tidak sebagai
keharusan, tetapi fakultatif. Rancangan Van de Putte dulu menyatakan sebagai
perubahan hak yang mesti dilakukan, tidak secara fakultatif. Rancangan Van de
Putte oleh Parlemen dianggap sebagai “paksaan” berlakunya hak eigendom menurut
hukum Barat untuk orang Indonesia. Hal itu menimbulkan keberatan orang-orang
Parlemen, dan menyebabkan rancangan itu ditolak.
Dengan perumusan yang baru dari De Waal (pemberian hak eigendom atas tanah Rakyat secara fakultatif), Parlemen
menerima dengan suara terbanyak. Untuk membedakan hak eigendon Barat dengan hak
eigendom orang Indonesia atas tanah, maka atas hak eigendom Indonesia itu biasa
disebut “agrarisch eigendom”. Orang Indonesia umumnya tidak merasakan
keuntungannya dengan hak tanah semacam ini, karena prakteknya beban-beban dari
hak tanahnya itu tidak tambah ringan, sedang jalan untuk mendapatkan hak itu
mudah. Prakteknya sedikit sekali rakyat mempergunakan kesempatan itu.
Dalam pembicaraan Rancangan
Undang-undang tahun 1870 (rancangan de Waal), banyak soal-soal yang terdapat
dalam pembicaraan tahun 1866/1867 (pembicaraan rancangan Cultuurwet) diulangi
lagi. Dasar-dasar hukum agraria seperti yang sudah dikemukakan itu semua,
bertujuan menjamin kepentingan tanah bagi onderneming, dan disamping itu
melindungi hak-hak tanah Rakyat Indonesia. Dilarangnya Gubernur Jenderal
menjual tanah secara besar-besaran kepada orang partikelir seperti yang terdahulu, diganti dengan hak pemberian erfpacht, bukan penjualan tanah tetapi
secara sewa secara luas, dengan waktu yang lama (75 tahun). Waktu
yang 75 tahun, dengan kesempatan untuk memperpanjang, dan luas 500 bahu, dengan
kesempatan untuk minta tambah lagi, dengan hak hipotik (zakelijke recht) adalah hak-hak yang besar.
Ketentuan mendapatkan tenaga untuk tanah
partikelir dijamin dengan hak feodal (pancen, herendienst), untuk konsesi atau erfpacht di Sumatera Timur dijamin dengan Kulieordonnann tie dengan poenale
sanctie nya. Sedang buat di Jawa cukup terjamin dengan tersedianya penduduk
yang miskin yang tanahnya diambil itu. Bedanya hanya nama. Akibatnya kepada
rakyat sama saja. Perbudakan model lama, model abad pertengahan, diganti dengan
perbudakan model baru, dengan jaminan hukum baru. Untuk perlindungan tanah
Rakyat, disamping pemberian hak erfpacht kepada orang asing, ditentukan bahwa
tanah- tanah yang diberikan untuk erfpacht itu hanya tanah-tanah bebas, yang
belum diusahakan Rakyat. Tetapi ada perkecualian, yaitu tanah-tanah Rakyat yang
pemiliknya “dengan kemauan sendiri” suka melepaskan haknya. Dengan istilah
mengembalikan hak kepada Negeri (tidak menjualnya), Pemerintah sudah dapat
menyewakan tanah itu kepada orang asing dengan hak erfpacht, sebagai dinyatakan
dalam Keputusan Kerajaan (Koninkljik beslissing) 4 Agustus 1875.
Undang-undang tahun 1875 No. 179
melarang penjualan tanah orang Indonesia kepada bangsa asing, dikatakan sebagai
perlindungan untuk menjaga agar orang Indonesia tidak gampang menjual
tanahnya. Untuk menjaga undang-undang itu, maka dengan undang-undang 14
Februari 1912 diancam dengan
hukuman terhadap pelanggaran Undang- undang 1876 No. 179 itu. Selanjutnya
berturut-turut diadakan Undang-undang sewa tanah untuk kepentingan tanaman giliran,
yang terkenal dengan Grondhuur Ordonnantie, berulang-ulang diubah dan ditambah
(1871 No. 163, 1895, 1900 dan yang terakhir tahun 1918 Stbl. No. 88) untuk
Jawa. Undang-undang itu oleh Pemerintah Republik Indonesia diubah dengan
Undang-undang Darurat No. 6 tahun 1951, dan seterusnya disahkan sebagai
undang-undang biasa dengan beberapa perubahan dan tambahan, yang diterima
oleh Parlemen R.I. Dengan adanya Undang-undang tanah, seperti: erfpacht, konsesi, serta persewaan, lengkaplah macamnya
peraturan untuk membuka segala jalan guna menjamin kepentingan perkembangan
modal besar asing di lapangan agraria.
Persoalan mengenai dasar-dasar Hak Tanah dalam membuat dan menentukan Undang-undang Agraria serta peraturan yang mengikutinya,
selalu menjadi persoalan adalah tentang dasar-dasar hak tanah bagi Rakyat Indonesia,
apakah dasarnya untuk menentukan hak-hak Negara (Pemerintah Hindia Belanda)
atas tanah di Indonesia ini, untuk menentukan hukum dan peraturan bagi
kepentingan modal asing. Persoalan pokoknya adalah pegangan dan
dasar hukum apa yang dapat dipakai untuk membenarkan tindakannya,
bagi kepentingan politik penjajahannya dalam hal tanah, agar dapat
dipertanggungjawabkan sepanjang hukum atas adat yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia. Karena itu selalu dicari dasar yang terdapat dalam masyarakat, yang
kiranya dapat dijadikan pegangan dan alasan untuk membenarkan tindakan itu.
Sampai pada waktu pembentukan
Undang-undang (RR) 1854, masih belum lagi cukup pengetahuan orang mengenai
dasar-dasar hukum dan hak tanah bagi Rakyat Indonesia. Sejak dulu orang-orang
sudah sangsi akan kebenarannya teori “domein” yang melahirkan Domeinverklaring.
Dalil Raffles, yang dasarnya dibawa dari Inggris, berdasarkan anggapan bahwa
Raja adalah pemilik tanah, sebagai orang yang mempunyai Negeri dengan seisinya,
sebagai Raja seru sekalian alam. Pengetahuan yang didapat di
daerah Kerajaan (Vorstenlanden), dengan adanya istilah tanah itu menjadi
kepunyaan raja, menambah kuatnya pegangan seterusnya di dalam
menentu- kan sekalian Undang-undang dan peraturan tentang tanah. Orang
berbantah dan berselisih faham tentang ini, tentang benar tidaknya dalil
Raffles. Tetapi kepentingan jajahan menuntut keuntungan-keuntungan yang
sebesar-besarnya dari jajahannya. Untuk maksud ini tafsir atas kebiasaan yang
berlaku dijadikan pegangan dan patokan. Raffles menggunakan dalilnya untuk
menjalankan sistem landrentenya. Komisaris-komisaris Jenderal Belanda yang
meneruskan pemerintah sesudah Raffles, dengan langsung saja menerima
dalil Raffles sebagai suatu aksioma. Dipergunakannya untuk menjual tanah
“miliknya” itu kepada orang partikelir, meneruskan yang dulu-dulu dijalankan.
Disamping itu, meneruskan sistem landrente Raffles dengan penjualan “tanah
partikelir” dengan hak kenegaraan.
Domeinverklaring
dipandang dari sudut teori yuridis terlihat ganjil, ruwet dan tidak berguna. Dipandang ruwet karena terdapat susunan yang membingungkan. Tanah yang menjadi hak milik
(bezitsrecht) orang Indonesia, dalam Domeinverklaring dinyatakan sebagai hak
(domein) negeri, ganjil karena setelah Negara mengatakan tanah itu semua
kepunyaannya sehingga Negara sebagai eigenaar tanah, masih perlu eigenaar tanah
itu “meng-onteigen” dari Rakyat bilamana orang Indonesia pemiliknya tidak suka
melepaskan tanahnya itu dengan suka rela. Pengambilan oleh Pemerintah dengan
istilah “onteigenen”’ berarti mengakui milik yang punya tanah itu. Kalau Negara
sudah menyatakan dirinya sebagai eigenaar, apakah perlunya untuk memberi
keharusan mempertimbangkan dulu dengan Rakyat sebagai orang yang bukan
pemiliknya.
Dengan begitu berarti pemerintah tidak
tahu akan haknya sendiri, seperti yang sudah dinyatakan sebagai eigenaar tanah.
Kalau undang-undang sudah memberikan hak eigendom berarti rakyat dapat langsung mempergunakan hak itu. Tidak usah mengadakan perundingan
dengan orang partikelir, diantaranya untuk keperluan pemberian erfpacht itu.
Vollenhoven selanjutnya mengatakan bahwa di daerah-daerah kerajaan yang
memerintah sendiri (yang mestinya berarti masih diakui kekuasaannya), harus
diakuinya juga kekuasaan raja atas tanah, konsekuen dengan pernyataan bahwa raja adalah pemilik tanah. Seharusnya difikirkan juga oleh pembuat
Undang-undang adanya Domeinverklaring buat Swapraja lebih dulu.
Tetapi pada kenyataannya tidak demikian, raja
raja yang dikatakan masih memerintah sendiri, tidak lagi berkuasa atas tanah
dalam daerah kerajaannya dapat mengubah hak menurut dasar-dasar Timur menjadi
peraturan Barat. Dengan tidak usah memakai domeinleer, hak-hak barat dapat
diatur karena kekuasaan Pemerintah. Domeinleer yang didasarkan atas pengertian
bahwa raja itu eigenaar tanah, teranglah tidak dapat dijadikan ukuran umumnya
bagi seluruh Indonesia. Dasar-dasar dan teori yang ruwet dan meragukan
kebenarannya itu seharusnya segera dilepaskan saja, demikian dari golongan
yang anti.
Keberatan yang terutama terhadap adanya domeinverklaring
ialah bahwa hak wilayah daerah tidak dijamin di dalamnya. Ini berarti bahwa yang
dibuka Rakyat tidak dengan izin pemerintah, tanah tersebut tetap menjadi
landsdomein, sekalipun tanah itu masuk dalam wilayah desa. Tanah-tanah
bekas perkebunan pemerintah (cultuurgronden) yang sudah ditinggalkan pemerintah, pemerintah tidak mengakui hak penduduk. Sekalipun tanah itu sudah dimiliki
penduduk, tetapi masih tanah Pemerintah. Van Vollenhoven dengan keras dan tajam
mencela putusan-putusan tuan-tuan besar Buitenzorg dan Batavia yang menjalankan
dan mempraktekkan peraturan-peraturan agraria, dikritik ahli-ahli hukum
pegawai pengadilan yang berbolak-balik putusannya, ketidakbenaran putusan
dan sering-sering bertentangan satu dengan lainnya. Selanjutnya dia mengatakan
dengan keras bahwa hak negeri atas tanah hanyalah teori omong-kosong dan
khayal.
Bagaimanapun juga tidak dapat
dipertahankan perumusan domein yang membatasi hak-hak menurut adat atas tanah tanah pertanian rakyat yang menyebabkan kekacauan di Indonesia Domeinverklaring
yang akan mewujudkan ketertiban hukum menjadi pangkalnya segala kegoncangan
hukum, yang terang ialah yang mengenai tanah-tanah pertanian Rakyat. Dasarnya Domeinverklaring
salah dan antipatik, mengingat keadaan juga sudah tidak dapat dipertahankan.
Gunanya tidak ada malahan membahayakan. Domeinverklaring bagi Pemerintah
mestinya harus berarti hanya hak terhadap sisa tanah sesudah diambil
tanah-tanah yang menjadi hak milik penduduk Indonesia. Jadi hanya atas satu
pulau kenang-kenangan manusia yang belum didiami orang, di sanalah Pemerintah
mempunyai kekuasaan penuh dengan domeinverklaringnya itu. Di daerah-daerah
pegunungan di Priangan di luar tanah-tanah kepunyaan Rakyat, di sanalah
Pemerintah mendapat hak-hak itu.
Hak Pemerintah atas tanah-tanah pertanian rakyat, hanya nama dan omong kosong, seperti halnya dengan pernyataan hak eigendom seseorang atas jalan-jalan desa, demikian Vollenhoven. Noslt Trenite dengan keras membela domeinleer yang dihina oleh Vollenhoven. Dalam notanya yang dinamakan domeinnota tahun 1912 menerangkan, bahwa perlu dijanlankan teori domein sebagai sandaran kekuasaan hak-hak Negara. Dengan tegas dia bertanya apakah untuk kepentingan eksploitasi tanah yang sangat dibutuhkan itu, Pemerintah Hindia Belanda akan menjadi Tuan yang menguasai tanah, ataukah menyerahkan kekuasaan itu kepada pengurus Desa, kepala Marga, Kepala-kepala kuria, orang-orang semacam itu, yang sama sekali tidak mempunyai perasan, pengertian dan pandangan ekonomi?
Menurut Trenite, hak wilayah desa
(beschikkingsrecht) hanya berlaku di zaman dahulu, waktu tanah di Jawa
masih luas. Dengan bertambahnya penduduk dan kemajuan perkebunan
di Indonesia, maka hal tersebut tidak bisa lagi diterapkan. Pemerintah harus mempunyai
kekuasaan yang penuh atas sesuatu yang tidak dapat diatur oleh desa. Menurut pikiran itu, maka kekuasaan dan
kedaulatan desa-desa yang dulu sebagai negara kecil-kecil sudah pindah ke
tangan Negara. Demikianlah
persoalan yang timbul mengenai dasar- dasar hak milik tanah bagi Rakyat
Indonesia. Bagaimanapun perdebatan itu hebatnya, tetapi untuk kepentingan
kolonial, untuk kepentingan kekuasaan Negara, dan untuk menjamin eksploitasi
tanah oleh modal besar, perlu Pemerintah menguasai tanah itu dengan
Domeinverklaring sebagai pernyataan yang tidak boleh disangkal.
Culturstelsel
Culturstelsel yaitu sistim tanam paksa,
masyarakat dipaksa untuk menggunakan sebagian besar lahannya untuk menanam tebu.
Masyarakat yang gagal akan mendapatkan hukuman. Waktu masyarakat habis untuk pemeliharaan
tebu sehingga tidak cukup waktu mengurus tanaman mereka sendiri sehingga
masyarakat menjadi makin miskin sedangkan Belanda justru pada masa ini berada
pada puncak kejayaan.
Pengolahan dan pemasakan hasil itu
diserahkan kepada pabrik-pabrik kepunyaan orang Eropa atau Tionghoa. Hasilnya
yang sudah dimasak itu diserahkan kepada Pemerintah dengan biaya yang sudah
ditetapkan. Pengangkutan barang-barang itu ke negeri Belanda diserahkan kepada
Nederlandsch Hendel Maatschappy di Indonesia terkenal dengan nama Factory
didirikan oleh Raja Willem I sejak tahun 1824, dengan kapal-kapalnya.
Selanjutnya Nederlandsch Handel Maatschappy menjual barang-barang hasil bumi
Indonesia di pasar dunia. Uang penjualannya sebagian untuk Pemerintah
Belanda dan sebagian untuk Pemerintah Hindia Belanda. Sesudah tanaman tebu dan
nila, menyusul tanaman kopi. Untuk tanaman kopi tidak memakai tanah
pertanian rakyat, tetapi tanah yang masih berupa hutan belukar yang terletak di
luar daerah perkampungan rakyat, sehingga dianggap tidak mengganggu
tanah pertanian rakyat karena tidak mengurangi luas tanah pertanian rakyat
yang ada. Tetapi karena tanah itu letaknya jauh dari tempat kediaman rakyat,
rakyat yang harus mengerjakan itu, terpaksa meningalkan kampung dan tanah
pertaniannya, sehingga terpaksa tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri.
Kekurangan uang negeri Belanda yang
sangat mendesak mendorong Gubernur Jenderal Van den Bosch yang merangkap juga
Komisaris Jenderal, bertindak sebagai diktator, menjalankan usaha
Cultuurstelsel dengan sekeras-kerasnya. Semua pegawai,
baik Belanda maupun bumiputra, dikerahkan untuk mengawasi pekerjaan rakyat
secara keras. Akhirnya beban rakyat menjadi sangat berat, tidak dapat dipikul
lagi. Karena hasil kekerasan Van den Bosch, yang mengerahkan tenaga rakyat untuk Cultuurstelsel tidak lama tanah Jawa, dari
selat Sunda sampai selat Bali menjadi kebun yang indah menghijau dengan tanaman
bahan-bahan ekspor, sumber kekayaan yang tidak ternilai. Tanah yang
dipergunakan untuk Cultuurstelsel semua ± 1 /18 luas tanah Jawa. Untuk
mengerjakan ini dipakai tenaga 800.000 keluarga atau ¼ dari jumlah penduduk
tanah Jawa pada waktu itu. Pegawai-pegawai Pemerintah dengan kejam mengerahkan
tenaga rakyat di kebun-kebun.
Mereka mendapatkan hadiah besar dari pemerintah, yang dinamakan “Cultuur atau koffie procenten” buat pegawai-pegawai Belanda dan hadiah pangkat tinggi turun temurun bagi pegawai bumiputra. Karena Cultuurstelsel, kapal- kapal dagang Nederland selalu penuh dengan muatannya, membawa hasil bumi Indonesia, masuk ke pelabuhan den Helder dan Hellevoetsluis. Amesterdam kembali hidup menjadi pusat perdagangan “barang-barang kolonial” di seluruh dunia. Kebobrokan keuangan Negeri Belanda segera dapat dipulihkan. Penanggung-penanggung pajak yang berat di Negeri Belanda mulai dapat bernafas dengan lega, karena mulai dapat keringanan bebannya, Factory dapat membagikan keuntungannya, sekalipun baru 5%. Bagi Negeri Belanda, betul-betul tanah Jawa sebagai gantungan hidupnya, sebagai dinyatakan oleh Menteri Baud: “Java was de kurkwaarop Nederland dreef” (Tanah Jawa menjadi gabus tempat Negeri Belanda terapung). Artinya kalau Indonesia lepas, Nederland akan tenggelam.
Moda Produksi
Moda
produksi merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Karl Max, secara prinsip
merupakan pandangan siapa yang berhasil sebagai pemenang atau siapa yang kalah
dari aktifitas ekonomi yang ada pada masyarakat. Hal ini terjadi dalam usaha
perkebunan, masyarakat yang tidak bisa menunjukan bukti kepemilikan maka akan
kehilangan lahannya, akhirnya mereka bekerja di lahan yang sebelumnya milik
mereka sendiri tapi sekarang sudah jadi milik Belanda. Tapi mereka tetap
beranggapan perkebunan belanda ini sebagai penyelamat buat kehidupan.
Daftar Pustaka
Tauchid,
M. 2009. Masalah Agraria : Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia. STPN
Press. Yogyakarta.
Undang-Undang
Republik Indonesia 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Senin, 03 Oktober 2022
SEJARAH PANJANG UUPA (Menjadikan Tanah Sebesar Besarnya Untuk Kemakmuran Petani)
UUPA menjelaskan bahwa bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Wewenang negara tersebut digunakan
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka berdaulat, adil dan makmur. Perkembangan Indonesia sebagai negara
agraris sangat ditentukan oleh keadilan dalam penguasaan lahan. UUPA telah detil memperhatikan hal tersebut, diantaranya diatur supaya tidak
terjadi pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah serta menghindari monopoli
swasta. UUPA juga sudah mengakomodir kesetaraan gender dan juga sudah
memperhatikan pembangunan berkelanjutan.
Penyusunan UUPA
melewati perjalanan yang cukup panjang, dimulai dari Panitia Agraria Yogya pada
tahun 1948 dan baru pada tahun 1960 undang-undang ini disahkan. Berikut alur
sejarah penyusunan UUPA:
1.
Panitia Agraria Yogya (1948)
Dibentuk
berdasarkan Surat Ketetapan Presiden No.16 tanggal 12 Mei 1948, tujuannya adalah
untuk menyusun hukum agraria yang baru serta menetapkan kebijaksanaan politik
agraria negara. Panitia ini yang diketuai oleh Sarimin
Reksodiharjo (saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam
Negeri), tugasnya adalah:
·
Memberikan pertimbangan
kepada pemerintah mengenai hukum pertanahan
·
Merancang dasar-dasar
hukum pertanahan
·
Merancang perubahan,
penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama
·
Menyelidiki persoalan
lain yang berhubungan dengan hukum tanah.
Anggota panitia ini
adalah para pejabat utusan kementerian dan berbagai jawatan, wakil dari
organisasi-organisasi petani yang juga tergabung sebagai anggota KNIP, wakil
Serikat Buruh Perkebunan, serta para ahli hukum terutama hukum adat. Hasil
kepanitiaan ini disampaikan kepada Presiden pada tanggal 3 Februari 1950, karena proses pemindahan kekuasaan negara menuju Jakarta, maka Panitia Agraria Yogya resmi dibubarkan pada tanggal 9 Maret 1951 oleh Soekarno.
Pembubaran tersebut dikeluarkan melalui SK Presiden No. 36 tahun 1951.
Hasil kinerja dari
Panitia Agraria Yogya berupa beberapa usulan, yaitu:
- Dilepaskannya
asas domein dan pengakuan hak ulayat
- Diadakannya
peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat
- Diadakan penyelidikan mengenai peraturan-peraturan di negara lain untuk menentukan
apakah orang asing dapat mempunyai hak milik atas tanah
- Diadakan penetapan luas minimum tanah bagi petani kecil agar memperoleh hidup yang
patut
- Penetapan
luas maksimum
- Skema
hak-hak tanah berupa hak milik dan hak atas tanah kosong dari negara dan
daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah orang lain
- Diadakan
registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting
2. Panitia Jakarta (1951)
Pembubaran Pantia Agraria Yogya dilakukan
hanya untuk mengubah menjadi Panitia Agraria Jakarta karena proses pemindahan
kekuasaan negara menuju Jakarta. Tugas utama dari panitia ini hampir sama
dengan Panitia Agraria Yogya. Ketua panitia ini masih tetap Sarimin
Reksodiharjo (tahun 1953 digantikan oleh Singgih Praptodihardjo).
Berdasarkan Keputusan Presiden pada tanggal
29 Maret 1955 No. 55 dibentuk Kementerian Agraria. Kementerian tersebut berada
pada masa kabinet Ali Sastromidjojo I. Tugas utama dari kementerian ini adalah
membentuk undang-undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal 25 ayat 1,
pasal 37 ayat 1, dan pasal 38 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar Sementara.
Hasil Panitia Jakarta adalah sebagai berikut:
- Batas
luas minimum adalah 2 hektar dan perlu dikaji lebih lanjut mengenai hubungan
antara pembatasan minimum dengan hukum adat
- Pembatasan
maksimum 25 hektar untuk satu keluarga
- Penduduk
Warga Negara Indonesia yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil dan
tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli
- Skema
hak-hak tanah berupa hak milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai
- Diakuinya
hak ulayat
3. Panitia Suwahyo (1956)
Panitia Agraria Jakarta dibubarkan karena
dianggap tidak dapat menyusun Rancangan Undang-Undang Agraria, kemudian
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia 14 Januari 1956, No. 1 tahun
1956, dibentuk kembali Panitia Negara
Urusan Agraria dengan ketuanya Soewahjo Soemodilogo (Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria). Anggota dari kepanitiaan
adalah pejabat dari Kementerian dan Jawatan, para ahli hukum adat, serta wakil
dari beberapa organisasi petani. Tugas pokok panitia ini adalah mempersiapkan
rencana Undang-Undang Pokok Agraria.
Panitia ini menggunakan semua bahan yang
sudah disusun oleh kedua panitia agraria sebelumnya. Panitia Negara Urusan
Agraria ini juga disebut sebagai Panitia Soewahjo yang akhirnya berhasil
membuat rancangan undang-undang pada tanggal 6 Februari 1958. Rancangan
tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Agraria. Setelah itu panitia ini dibubarkan,
karena tugasnya dianggap telah selesai. Pokok dari RUU hasil Panitia Soewahjo
adalah:
- Asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak
menguasai oleh negara sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 3
Undang-Undang Dasar Sementara.
- Asas bawah tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan
sendiri oleh pemiliknya (Tidak disampaikan kepada DPR)
- Asas domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara
- Dihapuskannya dualisme Hukum Agraria
- Hak-hak atas tanah berupa hak milik, hak usaha, hak
bangunan, dan hak pakai
- Hak milik hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia tanpa membedakan warga negara asli dan tidak asli, sedangkan
badan hukum tidak boleh mempunyai hak milik
- Diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas
tanah
- Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan
penggunaan tanah.
4. Rancangan Sunaryo (1958),
Beberapa pasal pada rancangan
undang-undang yang dihasilkan Panitia Soewahjo kemudian dirumuskan ulang dan
beberapa sistematika juga mengalami perubahan. Kemudian rancangan tersebut
menjadi dokumen yang dikenal sebagai Rancangan Soenarjo. Rancangan ini kemudian
diajukan oleh Menteri Agraria
Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 15 Maret 1958. Dewan Menteri dalam
sidangnya yang ke-94 akhirnya menyetujui rancangan tersebut pada 1 April 1958.
Selanjutnya rancangan tersebut diajukan kepada DRP berdasarkan Amanat Presiden
tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.
Rancangan ini dibahas dalam beberapa
tahap oleh DPR. Pada tanggal 16 Desember 1958 dalam sidang pleno DPR, Soenarjo
menjawab pemandangan umum DPR terhadap rancangannya. DPR akhirnya memutuskan
bahwa masih perlu dikumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap terkait rancangan
tersebut. Kemudian dibentuk panitia adhoc dengan ketua AM.
Tambunan.
Selanjutnya ketika Dekrit Presiden 1 Juli 1959 tentang
pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dikeluarkan, maka Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria Soenarjo ditarik. Penarikan tersebut secara resmi
dilakukan setelah keluarnya Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No.
1532/HK/1960. Rancangan Undang-Undang Agraria tersebut dianggap kurang cocok,
karena masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai bahan acuan.
5. Rancangan Sadjarwo (1960),
Rancangan Sunaryo kemudian
disesuaikan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta Manifesto Politik Indonesia.
Setelah proses penyesuaian dan rancangan sudah menjadi lebih sempurna dan
lengkap, maka rancangan tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo, rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria ini dikenal sebagai Rancangan Sadjarwo. Rancangan
tersebut akhirnya disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidang yang dilangsungkan
pada tanggal 22 Juli 1960 dan disetujui pula oleh Kabinet Pleno dalam persidangan yang diadakan pada
tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal itu juga dikeluarkan Amanat Presiden
tanggal 1 Agustus 1960 No. 2584/HK/60 untuk mengajukan rancangan tersebut
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Setelah pengajuan Rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria, maka dilakukanlah berbagai tahapan, mulai dari pemeriksaan
pendahuluan, lalu dilanjutkan pembahasan dalam sidang-sidang komisi tertutup,
kemudian pemandangan umum, dan terakhir pada sidang pleno yang diadakan tanggal
14 September 1960 akhirnya DPR-GR menerima rancangan tersebut dengan suara
bulat. Bahkan semua golongan yang tergabung dalam DPR-GR baik itu Golongan
Islam, Golongan Nasionalis, Golongan Komunis, dan Golongan Karya setuju dengan
hal itu.
Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960,
RUU yang sebelumnya sudah disetujui oleh DPR-GR, secara resmi disahkan oleh
Presiden Soekarno menjadi Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebelumnya, pada
7 Januari 1960, disahkan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) yang
bertujuan membentuk hubungan yang lebih adil antara pemilik tanah dan petani
penyakap. Tujuan lahirnya UUPA adalah :
- meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat
untuk menciptakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
- meletakan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
- meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya.
Setelah
diberlakukannya UUPA kemudian ditetapkan beberapa peraturan pelaksana diantaranya
adalah Peperpu No. 56/1960 (UU Landreform) yang menetapkan pembatasan
maksimal dan minimal penguasaan tanah pertanian. Kemudian untuk melaksanakan UU
Landreform tersebut pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 224
Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian.
Salah
satu roh utama dari UUPA adalah menghindari terjadinya pemusatan pemilikan tanah
yang akan membuat banyak rakyat terutama petani yang hanya akan menjadi petani
penggarap atau hanya jadi petani gurem yang memiliki lahan dibawah luas
ekonomis. UU landreform telah mengatur batasan maksimum luas kepemilikan tanah
bahkan untuk luas minimum pun akan diatur. Tapi hegemoni ini seakan mati suri
saat pergantian pemerintahan, setelah puluhan tahun baru pada tahun 2016
dilahirkan peraturan pelaksana dari PP 224 tahun 1961 yaitu dengan adanya Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengendalian
Penguasaan Tanah Pertanian. Sungguh sebuah penantian yang teramat panjang untuk
bisa melaksanakan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah, kalau kita
belajar dari perkembangan reforma agraria dizaman romawi dan yunani kuno
mungkin kita bisa memahami bagaimana perjuangan untuk menegakan keadilan
agraria. Sebuah perjuangan yang sangat berat untuk bisa menghentikan pusaran penguasaan
tanah para tuan-tuan tanah.
Setelah
G 30S PKI reforma agraria sering dianggap arah “kiri”, ini tentu saja sangat
merugikan tujuan mulia dari reforma agraria. Negara-negara yang notabenya bukan
“kiri” telah berhasil memperkuat pertanian nasionalnya dengan melaksanakan
reforma agraria seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia dan Thailand. Upaya
mengarahkan reforma agraria dengan pembatasan pemilikan tanah sebagai kegiatan komunis
membuat program ini dengan mudah untuk dipinggirkan. Setelah G30S PKI
masyarakat menjadi ketakutan dengan hal berbau komunis, padahal UUPA sebagai
dasar kebijakan ini merupakan produk hukum yang telah disetujui oleh semua
pihak di parlemen, dimana terdapat unsur kaum nasionalis dan agamis juga selain
komunis.
Tuan
tanah tentu saja sangat terganggu dengan adanya reforma agraria karena ini akan
mengancam penguasaan tanah mereka. Hal ini akan memunculkan upaya-upaya untuk
menghalangi terlaksananya program tersebut. Petani yang sudah diamanahkan oleh UUPA
untuk memperoleh lahan, malah sudah dipersiapkan luas lahan minimum yang harus
dipunyai, akan tetap dalam tingkat kehidupan yang sama karena implemetasi
undang-undang tersebut masih belum berada dikoridor yang sebenarnya. Bertahanannya
petani gurem dalam keadaan kesulitan akses terhadap lahan akan membuat
kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraan mereka dan akan memberi dampak
jangka panjang.
Makin
berkurangnya lahan pertanian salah satu faktor penyebabnya adalah belum bisa
dilaksanakan pembatasan maksimum dan minimum penguasaan tanah. Hal ini karena
dengan tidak ekonomisnya luas kepemilikan lahan membuat petani akan cenderung
lebih mudah melepaskan penguasaan lahan tersebut sehingga konversi lahan cenderung
meningkat. Disisi lain dengan lebih dominannya jumlah buruh tani dibanding
pemilik lahan membuat motivasi untuk bertani sulit untuk ditingkatkan. Imbas
dari hal ini adalah produktivitas lahan juga akan sulit untuk dikembangkan.
Kedepan
dengan telah adanya Permen ATR/BPN tentang pengendalian penguasaan tanah
pertanian diharapkan jadi momentun untuk bisa mengembalikan roh UUPA ke tempat
yang seharusnya. Mekanisme yang bijaksana dalam pelaksanaan pembatasan penguasaan
tanah seharusnya dapat menjadi solusi yang adil bagi semua pihak, baik bagi
pihak yang ditertibkan haknya maupun untuk yang akan diberikan hak penguasaan.
Pemberian hak yang seharusnya untuk yang ditertibkan akan meminimalkan “perlawanan”
mereka sehingga akan mengurangi gejolak yang mungkin akan muncul. Disisi lain
pihak-pihak yang akan memperoleh hak penguasaan harus didata dengan akurat
supaya mereka yang memang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan dalam skala
non ekonomis yang tersentuh reforma agraria.
Terciptanya
kepemilikan tanah yang ekonomis bagi para petani akan mampu meningkatkan taraf
hidup mereka. Hal ini bisa berlanjut ketahap hilirnya, yaitu dengan mempertahankan
luasan lahan pertanian yang ada karena petani dapat mengandalkan lahannya untuk
kebutuhan hidup yang layak sehingga area pertanian yang ada dapat
berkelanjutan. Kondisi seperti ini nantinya juga akan dapat mewujudkan
ketahanan pangan karena area lahan pertanian yang ada dapat dipertahankan dan
produkstivitas lahan akan dapat ditingkatkan disebabkan oleh motivasi petani
akan dapat ditingkatkan. Pelaksanaan akses reform juga akan memberikan multiplayer effect yang akan mempermudah
upaya petani untuk memberdayakan lahan mereka sehingga kesejahteraan petani
dapat meningkat dan pada titik akhirnya petani dapat merdeka di tanahmya
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendar, Endang. 1995. Ketimpangan Penguasaan
Tanah Di Jawa Barat. Yogyakarta: Yayasan AKATIGA.
https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-pembentukan-uupa
https://rewangrencang.com/mari-mengenal-hukum-agraria-pertanahan
https://www.medcom.id/telusur/medcom-files/nN9GL05k-cap-komunis-di-reforma-agraria
Jumat, 23 September 2022
Rabu, 11 Mei 2022
Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) Secara Non-Elektronik
Pelaksanaan KKPR secara non-elektronik
dilakukan dalam kondisi Sistem OSS atau sistem elektronik yang diselenggarakan
oleh Menteri tidak dapat melayani proses penerbitan KKPR.
Pelaksanaan
KKPR secara non-elektronik berlaku untuk:
- PKKPR untuk kegiatan berusaha
- KKKPR untuk kegiatan
nonberusaha
- PKKPR untuk kegiatan
nonberusaha
- RKKPR
Pelaksanaan
KKPR secara non-elektronik dilakukan dengan tahapan:
- Pendaftaran
Pendaftaran
dilakukan oleh pemohon dan disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal
Tata Ruang. Apabila pelaksanaan PKKPR untuk kegiatan berusaha telah
didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota, pendaftaran disampaikan
kepada dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu provinsi,
kabupaten, atau kota.
Apabila
pelaksanaan KKKPR untuk kegiatan nonberusaha dan PKKPR untuk kegiatan
nonberusaha telah didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota,
pendaftaran disampaikan kepada dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu
pintu atau perangkat daerah yang membidangi urusan penataan ruang
di provinsi, kabupaten, atau kota.
- Penilaian dokumen usulan
kegiatan Pemanfaatan Ruang
Penilaian
dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan oleh Menteri melalui
Direktur Jenderal Tata Ruang melalui kajian yang selaras dengan tujuan
penyelenggaraan penataan ruang. Dalam melakukan penilaian Menteri melalui
Direktur Jenderal Tata Ruang dapat melibatkan Forum Penataan Ruang. Apabila
pelaksanaan PKKPR untuk kegiatan berusaha, KKKPR untuk kegiatan nonberusaha,
dan PKKPR untuk kegiatan nonberusaha telah didelegasikan kepada gubernur,
bupati, atau wali kota, penilaian dokumen dilakukan oleh Forum Penataan Ruang
melalui kajian yang selaras dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang.
- Penerbitan
Penerbitan
KKKPR untuk kegiatan nonberusaha dilakukan oleh Menteri melalui Direktur
Jenderal Tata Ruang dengan memperhatikan hasil kajian. Penerbitan PKKPR untuk
kegiatan berusaha, PKKPR untuk kegiatan nonberusaha, dan RKKPR dilakukan oleh
Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang dengan memperhatikan hasil kajian dan
pertimbangan teknis pertanahan.
Apabila
penerbitan KKKPR untuk kegiatan nonberusaha telah didelegasikan kepada
gubernur, bupati, atau wali kota, penerbitan dilakukan oleh gubernur, bupati,
atau wali kota dengan memperhatikan hasil pembahasan kajian oleh Forum Penataan
Ruang.
Dalam
hal penerbitan PKKPR untuk kegiatan berusaha dan PKKPR untuk kegiatan
nonberusaha telah didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota,
penerbitan dilakukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota dengan memperhatikan
hasil pembahasan kajian dan pertimbangan teknis pertanahan oleh Forum Penataan
Ruang.
DAFTAR PUSTAKA
Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021
Selasa, 10 Mei 2022
Pelaksanaan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha di Daerah
Penilaian dokumen
usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui kajian dengan menggunakan
asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:
- RTRW
Kabupaten/Kota
- RTRWP
- RTR KSN
- RZ KSNT
- RZ KAW
- RTR Pulau/Kepulauan
- RTRWN
Penilaian
dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui kajian yang selaras
dengan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk mewujudkan ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Penilaian dokumen usulan kegiatan
Pemanfaatan Ruang melalui kajian dilakukan oleh Forum Penataan Ruang. Forum
Penataan Ruang menyampaikan hasil pembahasan KKPR kepada gubernur, bupati, atau
wali kota. Pertimbangan hasil pembahasan dari Forum Penataan Ruang tidak
mengurangi kewenangan gubernur, bupati, atau wali kota dalam menerbitkan PKKPR.
Dalam hal diperlukan, peninjauan lapangan dapat dilakukan untuk penilaian
dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Penerbitan PKKPR dilakukan oleh
gubernur, bupati, atau wali kota dengan memperhatikan hasil kajian dan pertimbangan
teknis pertanahan. Pertimbangan teknis pertanahan terkait lokasi usaha dilaksanakan
oleh kantor pertanahan. Kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis
pertanahan kepada Menteri paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak
pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak diterima. Apabila
kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu kantor
pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan pertimbangan teknis pertanahan. Gubernur,
bupati, atau wali kota menerbitkan PKKPR berupa keputusan disetujui (disetujui
seluruhnya atau disetujui sebagian) atau ditolak dengan disertai alasan
penolakan.
Penerbitan
PKKPR paling sedikit memuat:
- lokasi kegiatan
- jenis peruntukan Pemanfaatan Ruang
- koefisien dasar bangunan
- koefisien lantai bangunan
- indikasi program Pemanfaatan Ruang
- persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan
Ruang.
Penerbitan PKKPR dilakukan
paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak persyaratan permohonan telah diterima
secara lengkap dan pembayaran penerimaan negara bukan pajak diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021
-
Sejarah Reforma Agraria Agraria sering dimaknai sebatas pertanian saja, bahkan lebih sempit lagi tanah pertanian, secara etimologi kata agra...
-
Konsep basis data identitas sesuai SNI penyamaan kode Diawali peta dasar peta penggunaan tanah : RTRW :GUPT: Ijin Lokasi : Kemamp...