Senin, 03 Oktober 2022

SEJARAH PANJANG UUPA (Menjadikan Tanah Sebesar Besarnya Untuk Kemakmuran Petani)

 

UUPA menjelaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Wewenang negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Perkembangan Indonesia sebagai negara agraris sangat ditentukan oleh keadilan dalam penguasaan lahan. UUPA telah detil memperhatikan hal tersebut, diantaranya diatur supaya tidak terjadi pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah serta menghindari monopoli swasta. UUPA juga sudah mengakomodir kesetaraan gender dan juga sudah memperhatikan pembangunan berkelanjutan.

Penyusunan UUPA melewati perjalanan yang cukup panjang, dimulai dari Panitia Agraria Yogya pada tahun 1948 dan baru pada tahun 1960 undang-undang ini disahkan. Berikut alur sejarah penyusunan UUPA:

1. Panitia Agraria Yogya (1948)

Dibentuk berdasarkan Surat Ketetapan Presiden No.16 tanggal 12 Mei 1948, tujuannya adalah untuk menyusun hukum agraria yang baru serta menetapkan kebijaksanaan politik agraria negara. Panitia ini yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo (saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri), tugasnya adalah:

·         Memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai hukum pertanahan

·         Merancang dasar-dasar hukum pertanahan

·         Merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama

·         Menyelidiki persoalan lain yang berhubungan dengan hukum tanah.

Anggota panitia ini adalah para pejabat utusan kementerian dan berbagai jawatan, wakil dari organisasi-organisasi petani yang juga tergabung sebagai anggota KNIP, wakil Serikat Buruh Perkebunan, serta para ahli hukum terutama hukum adat. Hasil kepanitiaan ini disampaikan kepada Presiden pada tanggal 3 Februari 1950, karena proses pemindahan kekuasaan negara menuju Jakarta, maka Panitia Agraria Yogya resmi dibubarkan pada tanggal 9 Maret 1951 oleh Soekarno. Pembubaran tersebut dikeluarkan melalui SK Presiden No. 36 tahun 1951.

Hasil kinerja dari Panitia Agraria Yogya berupa beberapa usulan, yaitu:

  1. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat
  2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat
  3. Diadakan penyelidikan mengenai peraturan-peraturan di negara lain untuk menentukan apakah orang asing dapat mempunyai hak milik atas tanah
  4. Diadakan penetapan luas minimum tanah bagi petani kecil agar memperoleh hidup yang patut 
  5. Penetapan luas maksimum 
  6. Skema hak-hak tanah berupa hak milik dan hak atas tanah kosong dari negara dan daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah orang lain 
  7. Diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting

2. Panitia Jakarta (1951)

Pembubaran Pantia Agraria Yogya dilakukan hanya untuk mengubah menjadi Panitia Agraria Jakarta karena proses pemindahan kekuasaan negara menuju Jakarta. Tugas utama dari panitia ini hampir sama dengan Panitia Agraria Yogya. Ketua panitia ini masih tetap Sarimin Reksodiharjo (tahun 1953 digantikan oleh Singgih Praptodihardjo).

Berdasarkan Keputusan Presiden pada tanggal 29 Maret 1955 No. 55 dibentuk Kementerian Agraria. Kementerian tersebut berada pada masa kabinet Ali Sastromidjojo I. Tugas utama dari kementerian ini adalah membentuk undang-undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal 25 ayat 1, pasal 37 ayat 1, dan pasal 38 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar Sementara.

Hasil Panitia Jakarta adalah sebagai berikut:

  1. Batas luas minimum adalah 2 hektar dan perlu dikaji lebih lanjut mengenai hubungan antara pembatasan minimum dengan hukum adat
  2. Pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga
  3. Penduduk Warga Negara Indonesia yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli
  4. Skema hak-hak tanah berupa hak milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai
  5. Diakuinya hak ulayat

3. Panitia Suwahyo (1956)

Panitia Agraria Jakarta dibubarkan karena dianggap tidak dapat menyusun Rancangan Undang-Undang Agraria, kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia 14 Januari 1956, No. 1 tahun 1956, dibentuk kembali Panitia Negara Urusan Agraria dengan ketuanya Soewahjo Soemodilogo (Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria). Anggota dari kepanitiaan adalah pejabat dari Kementerian dan Jawatan, para ahli hukum adat, serta wakil dari beberapa organisasi petani. Tugas pokok panitia ini adalah mempersiapkan rencana Undang-Undang Pokok Agraria.

Panitia ini menggunakan semua bahan yang sudah disusun oleh kedua panitia agraria sebelumnya. Panitia Negara Urusan Agraria ini juga disebut sebagai Panitia Soewahjo yang akhirnya berhasil membuat rancangan undang-undang pada tanggal 6 Februari 1958. Rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Agraria. Setelah itu panitia ini dibubarkan, karena tugasnya dianggap telah selesai. Pokok dari RUU hasil Panitia Soewahjo adalah:

  1. Asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara.
  2. Asas bawah tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya (Tidak disampaikan kepada DPR)
  3. Asas domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara
  4. Dihapuskannya dualisme Hukum Agraria
  5. Hak-hak atas tanah berupa hak milik, hak usaha, hak bangunan, dan hak pakai
  6. Hak milik hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia tanpa membedakan warga negara asli dan tidak asli, sedangkan badan hukum tidak boleh mempunyai hak milik
  7. Diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah
  8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

4. Rancangan Sunaryo (1958),

Beberapa pasal pada rancangan undang-undang yang dihasilkan Panitia Soewahjo kemudian dirumuskan ulang dan beberapa sistematika juga mengalami perubahan. Kemudian rancangan tersebut menjadi dokumen yang dikenal sebagai Rancangan Soenarjo. Rancangan ini kemudian diajukan oleh Menteri Agraria  Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 15 Maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya yang ke-94 akhirnya menyetujui rancangan tersebut pada 1 April 1958. Selanjutnya rancangan tersebut diajukan kepada DRP berdasarkan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.

Rancangan ini dibahas dalam beberapa tahap oleh DPR. Pada tanggal 16 Desember 1958 dalam sidang pleno DPR, Soenarjo menjawab pemandangan umum DPR terhadap rancangannya. DPR akhirnya memutuskan bahwa masih perlu dikumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap terkait rancangan tersebut. Kemudian dibentuk panitia adhoc dengan ketua AM. Tambunan.

Selanjutnya ketika Dekrit Presiden 1 Juli 1959 tentang pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dikeluarkan, maka Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria Soenarjo ditarik. Penarikan tersebut secara resmi dilakukan setelah keluarnya Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960. Rancangan Undang-Undang Agraria tersebut dianggap kurang cocok, karena masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai bahan acuan.

5. Rancangan Sadjarwo (1960),

Rancangan Sunaryo kemudian disesuaikan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta Manifesto Politik Indonesia. Setelah proses penyesuaian dan rancangan sudah menjadi lebih sempurna dan lengkap, maka rancangan tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ini dikenal sebagai Rancangan Sadjarwo. Rancangan tersebut akhirnya disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidang yang dilangsungkan pada tanggal 22 Juli 1960 dan disetujui pula oleh Kabinet  Pleno dalam persidangan yang diadakan pada tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal itu juga dikeluarkan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 No. 2584/HK/60 untuk mengajukan rancangan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Setelah pengajuan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, maka dilakukanlah berbagai tahapan, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, lalu dilanjutkan pembahasan dalam sidang-sidang komisi tertutup, kemudian pemandangan umum, dan terakhir pada sidang pleno yang diadakan tanggal 14 September 1960 akhirnya DPR-GR menerima rancangan tersebut dengan suara bulat. Bahkan semua golongan yang tergabung dalam DPR-GR baik itu Golongan Islam, Golongan Nasionalis, Golongan Komunis, dan Golongan Karya setuju dengan hal itu.

Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960, RUU yang sebelumnya sudah disetujui oleh DPR-GR, secara resmi disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebelumnya, pada 7 Januari 1960, disahkan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) yang bertujuan membentuk hubungan yang lebih adil antara pemilik tanah dan petani penyakap. Tujuan lahirnya UUPA adalah :

  1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk menciptakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
  2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
  3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Setelah diberlakukannya UUPA kemudian ditetapkan beberapa peraturan pelaksana diantaranya adalah Peperpu No. 56/1960 (UU Landreform) yang menetapkan pembatasan maksimal dan minimal penguasaan tanah pertanian. Kemudian untuk melaksanakan UU Landreform tersebut pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Salah satu roh utama dari UUPA adalah menghindari terjadinya pemusatan pemilikan tanah yang akan membuat banyak rakyat terutama petani yang hanya akan menjadi petani penggarap atau hanya jadi petani gurem yang memiliki lahan dibawah luas ekonomis. UU landreform telah mengatur batasan maksimum luas kepemilikan tanah bahkan untuk luas minimum pun akan diatur. Tapi hegemoni ini seakan mati suri saat pergantian pemerintahan, setelah puluhan tahun baru pada tahun 2016 dilahirkan peraturan pelaksana dari PP 224 tahun 1961 yaitu dengan adanya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian. Sungguh sebuah penantian yang teramat panjang untuk bisa melaksanakan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah, kalau kita belajar dari perkembangan reforma agraria dizaman romawi dan yunani kuno mungkin kita bisa memahami bagaimana perjuangan untuk menegakan keadilan agraria. Sebuah perjuangan yang sangat berat untuk bisa menghentikan pusaran penguasaan tanah para tuan-tuan tanah.

Setelah G 30S PKI reforma agraria sering dianggap arah “kiri”, ini tentu saja sangat merugikan tujuan mulia dari reforma agraria. Negara-negara yang notabenya bukan “kiri” telah berhasil memperkuat pertanian nasionalnya dengan melaksanakan reforma agraria seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia dan Thailand. Upaya mengarahkan reforma agraria dengan pembatasan pemilikan tanah sebagai kegiatan komunis membuat program ini dengan mudah untuk dipinggirkan. Setelah G30S PKI masyarakat menjadi ketakutan dengan hal berbau komunis, padahal UUPA sebagai dasar kebijakan ini merupakan produk hukum yang telah disetujui oleh semua pihak di parlemen, dimana terdapat unsur kaum nasionalis dan agamis juga selain komunis.

Tuan tanah tentu saja sangat terganggu dengan adanya reforma agraria karena ini akan mengancam penguasaan tanah mereka. Hal ini akan memunculkan upaya-upaya untuk menghalangi terlaksananya program tersebut. Petani yang sudah diamanahkan oleh UUPA untuk memperoleh lahan, malah sudah dipersiapkan luas lahan minimum yang harus dipunyai, akan tetap dalam tingkat kehidupan yang sama karena implemetasi undang-undang tersebut masih belum berada dikoridor yang sebenarnya. Bertahanannya petani gurem dalam keadaan kesulitan akses terhadap lahan akan membuat kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraan mereka dan akan memberi dampak jangka panjang.

Makin berkurangnya lahan pertanian salah satu faktor penyebabnya adalah belum bisa dilaksanakan pembatasan maksimum dan minimum penguasaan tanah. Hal ini karena dengan tidak ekonomisnya luas kepemilikan lahan membuat petani akan cenderung lebih mudah melepaskan penguasaan lahan tersebut sehingga konversi lahan cenderung meningkat. Disisi lain dengan lebih dominannya jumlah buruh tani dibanding pemilik lahan membuat motivasi untuk bertani sulit untuk ditingkatkan. Imbas dari hal ini adalah produktivitas lahan juga akan sulit untuk dikembangkan.

Kedepan dengan telah adanya Permen ATR/BPN tentang pengendalian penguasaan tanah pertanian diharapkan jadi momentun untuk bisa mengembalikan roh UUPA ke tempat yang seharusnya. Mekanisme yang bijaksana dalam pelaksanaan pembatasan penguasaan tanah seharusnya dapat menjadi solusi yang adil bagi semua pihak, baik bagi pihak yang ditertibkan haknya maupun untuk yang akan diberikan hak penguasaan. Pemberian hak yang seharusnya untuk yang ditertibkan akan meminimalkan “perlawanan” mereka sehingga akan mengurangi gejolak yang mungkin akan muncul. Disisi lain pihak-pihak yang akan memperoleh hak penguasaan harus didata dengan akurat supaya mereka yang memang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan dalam skala non ekonomis yang tersentuh reforma agraria.

Terciptanya kepemilikan tanah yang ekonomis bagi para petani akan mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini bisa berlanjut ketahap hilirnya, yaitu dengan mempertahankan luasan lahan pertanian yang ada karena petani dapat mengandalkan lahannya untuk kebutuhan hidup yang layak sehingga area pertanian yang ada dapat berkelanjutan. Kondisi seperti ini nantinya juga akan dapat mewujudkan ketahanan pangan karena area lahan pertanian yang ada dapat dipertahankan dan produkstivitas lahan akan dapat ditingkatkan disebabkan oleh motivasi petani akan dapat ditingkatkan. Pelaksanaan akses reform juga akan memberikan multiplayer effect yang akan mempermudah upaya petani untuk memberdayakan lahan mereka sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat dan pada titik akhirnya petani dapat merdeka di tanahmya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Suhendar, Endang. 1995. Ketimpangan Penguasaan Tanah Di Jawa Barat. Yogyakarta: Yayasan AKATIGA.

https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-pembentukan-uupa

https://rewangrencang.com/mari-mengenal-hukum-agraria-pertanahan

https://www.medcom.id/telusur/medcom-files/nN9GL05k-cap-komunis-di-reforma-agraria

Rabu, 11 Mei 2022

Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) Secara Non-Elektronik


Pelaksanaan KKPR secara non-elektronik dilakukan dalam kondisi Sistem OSS atau sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Menteri tidak dapat melayani proses penerbitan KKPR.

Pelaksanaan KKPR secara non-elektronik berlaku untuk:

  • PKKPR untuk kegiatan berusaha
  • KKKPR untuk kegiatan nonberusaha
  • PKKPR untuk kegiatan nonberusaha
  • RKKPR

Pelaksanaan KKPR secara non-elektronik dilakukan dengan tahapan:

  • Pendaftaran

Pendaftaran dilakukan oleh pemohon dan disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang. Apabila pelaksanaan PKKPR untuk kegiatan berusaha telah didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota, pendaftaran disampaikan kepada dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu provinsi, kabupaten, atau kota.

Apabila pelaksanaan KKKPR untuk kegiatan nonberusaha dan PKKPR untuk kegiatan nonberusaha telah didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota, pendaftaran disampaikan kepada dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu atau  perangkat  daerah yang membidangi urusan penataan ruang di provinsi, kabupaten, atau kota.


  • Penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang

Penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang melalui kajian yang selaras dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang. Dalam melakukan penilaian Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang dapat melibatkan Forum Penataan Ruang. Apabila pelaksanaan PKKPR untuk kegiatan berusaha, KKKPR untuk kegiatan nonberusaha, dan PKKPR untuk kegiatan nonberusaha telah didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota, penilaian dokumen dilakukan oleh Forum Penataan Ruang melalui kajian yang selaras dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang.


  • Penerbitan

Penerbitan KKKPR untuk kegiatan nonberusaha dilakukan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang dengan memperhatikan hasil kajian. Penerbitan PKKPR untuk kegiatan berusaha, PKKPR untuk kegiatan nonberusaha, dan RKKPR dilakukan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang dengan memperhatikan hasil kajian dan pertimbangan teknis pertanahan.

Apabila penerbitan KKKPR untuk kegiatan nonberusaha telah didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota, penerbitan dilakukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota dengan memperhatikan hasil pembahasan kajian oleh Forum Penataan Ruang.

Dalam hal penerbitan PKKPR untuk kegiatan berusaha dan PKKPR untuk kegiatan nonberusaha telah didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota, penerbitan dilakukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota dengan memperhatikan hasil pembahasan kajian dan pertimbangan teknis pertanahan oleh Forum Penataan Ruang.


DAFTAR PUSTAKA


Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021

Selasa, 10 Mei 2022

Pelaksanaan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha di Daerah


    Penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui kajian dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:

    • RTRW Kabupaten/Kota
    • RTRWP
    • RTR KSN
    • RZ KSNT
    • RZ KAW
    • RTR Pulau/Kepulauan
    • RTRWN

Penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui kajian yang selaras dengan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang melalui kajian dilakukan oleh Forum Penataan Ruang. Forum Penataan Ruang menyampaikan hasil pembahasan KKPR kepada gubernur, bupati, atau wali kota. Pertimbangan hasil pembahasan dari Forum Penataan Ruang tidak mengurangi kewenangan gubernur, bupati, atau wali kota dalam menerbitkan PKKPR. Dalam hal diperlukan, peninjauan lapangan dapat dilakukan untuk penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Penerbitan PKKPR dilakukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota dengan memperhatikan hasil kajian dan pertimbangan teknis pertanahan. Pertimbangan teknis pertanahan terkait lokasi usaha dilaksanakan oleh kantor pertanahan. Kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan kepada Menteri paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak diterima. Apabila kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan pertimbangan teknis pertanahan. Gubernur, bupati, atau wali kota menerbitkan PKKPR berupa keputusan disetujui (disetujui seluruhnya atau disetujui sebagian) atau ditolak dengan disertai alasan penolakan.

Penerbitan PKKPR paling sedikit memuat:

  • lokasi kegiatan
  • jenis peruntukan Pemanfaatan Ruang
  • koefisien dasar bangunan
  • koefisien lantai bangunan
  • indikasi program Pemanfaatan Ruang
  • persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Penerbitan PKKPR dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak persyaratan permohonan telah diterima secara lengkap dan pembayaran penerimaan negara bukan pajak diterima.

DAFTAR PUSTAKA

Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021

Perolehan Tanah dalam Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional

 

KKPR (Kesesuian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional diterbitkan untuk pemohon yang telah memperoleh tanah atau untuk pemohon yang belum memperoleh tanah untuk kegiatannya. KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional menjadi dasar dalam administrasi pertanahan untuk tanah yang diperoleh dalam pelaksanaan KKPR.

Apabila pemohon KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional belum memperoleh tanah, KKPR  berlaku  untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun, sedangkan apabila pemohon KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional telah memperoleh tanah untuk kegiatannya, masa berlaku KKPR mengikuti jangka waktu penguasaan atas tanah yang telah diperoleh oleh pemohon dan sesuai dengan luas tanah yang disetujui dalam KKPR.

Dalam hal masa berlaku KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional telah habis dan proses perolehan tanah belum selesai, KKPR diperpanjang secara otomatis sesuai dengan jangka waktu perencanaan pada dokumen rencana pengadaan tanah. Terhadap lokasi yang telah diterbitkan KKPR kegiatan yang bersifat strategis nasional untuk pemohon yang belum memperoleh tanah dapat diajukan permohonan  KKPR oleh:

·     pemilik tanah

·     pemohon KKPR kegiatan berusaha di ruang bawah tanah atau ruang atas tanah

 Permohonan KKPR diatas dilakukan dengan ketentuan:

  • sesuai dengan informasi penguasaan tanah sebagaimana dimuat dalam pertimbangan teknis pertanahan; dan
  • KKPR yang diajukan tidak melebihi luas tanah yang dimilikinya.

Permohonan KKPR dilakukan sesuai dengan informasi penguasaan tanah sebagaimana dimuat dalam pertimbangan teknis pertanahan. Setelah diterbitkannya KKPR yang belum memperoleh tanah, pemegang KKPR harus membebaskan tanah dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui haknya, termasuk kewenangan yang menurut hukum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertipikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain.

Kewenangan untuk mengalihkan hak kepada pihak lain dilaksanakan pada lokasi yang telah ditetapkan KKPR berdasarkan iktikad baik, yang diprioritaskan kepada pemegang KKPR atau Bank Tanah berdasarkan kerja sama dengan pemegang KKPR. Pemegang KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional wajib menghormati kepentingan pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan,  tidak  menutup atau mengurangi aksesibilitas masyarakat di sekitar lokasi, dan menjaga serta melindungi kepentingan umum.

Pemegang KKPR wajib melaporkan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada kepala kantor pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakan berdasarkan KKPR dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut. Tanah yang telah diperoleh dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun masa berlaku KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional harus didaftarkan kepada kantor pertanahan paling lambat 1 (satu) tahun setelah berakhirnya RKKPR. Terhadap pelaksanaan perolehan tanah oleh pemegang KKPR, kantor pertanahan wajib melakukan pengecekan berkala setiap 3 (tiga) bulan.

Pemutakhiran KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dilakukan dalam hal:

·      pemegang atau pelaksana KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional belum dapat menyelesaikan perolehan tanah dalam jangka waktu KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional.

·   terjadi perubahan pemegang atau pelaksana KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional akibat perbuatan hukum; atau

·   telah ditunjuknya pelaksana KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional oleh pemegang KKPR.

Dalam rangka penyesuaian masa berlaku KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dengan hak atas tanah yang diperoleh, pemohon melakukan pemutakhiran KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional berdasarkan status pendaftaran tanah dengan menyampaikan laporan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang. Terhadap hasil pemutakhiran KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional, Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang akan menerbitkan KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dengan jangka waktu dan luasan tanah sesuai penguasaan atas tanah yang diperoleh. Ketentuan mengenai petunjuk teknis pelaksanaan KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis  nasional  ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang investasi.


DAFTAR PUSTAKA

Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021 

Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional


Pelaksanaan KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional diberikan untuk:

  • rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat strategis nasional yang termuat dalam RTRWN, RTR Pulau/Kepulauan, RTR KSN, RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota, RDTR KPN, dan/atau RDTR; dan
  • rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat strategis nasional yang belum termuat dalam RTRWN, RTR Pulau/Kepulauan, RTR KSN, RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota, RDTR KPN, dan/atau RDTR.

Kegiatan yang bersifat strategis nasional tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dimohonkan oleh menteri, kepala lembaga, gubernur,  bupati,  atau  wali kota dengan menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan. KKPR ini  diterbitkan oleh Menteri. KKPR untuk rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat strategis nasional yang termuat dalam RTRWN, RTR Pulau/Kepulauan, RTR KSN, RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota, RDTR KPN, dan RDTR dilakukan melalui KKKPR dan PKKPR.

KKPR untuk rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat strategis nasional yang belum termuat dalam RTRWN, RTR Pulau/Kepulauan, RTR KSN, RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota, RDTR KPN, dan/atau RDTR dilakukan melalui RKKPR (Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang). Rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang bersifat strategis nasional dapat juga berupa:

o   rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang di atas tanah Bank Tanah

o   rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang di kawasan atau di atas tanah yang akan diberikan hak pengelolaan untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional (Kegiatan Pemanfaatan Ruang di atas hak pengelolaan mengacu pada rencana induk kawasan)

Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (RKKPR) untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional

RKKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dilaksanakan dengan tahapan:

a.  Pendaftaran

Pendaftaran paling sedikit dilengkapi dengan:

· koordinat lokasi (poligon yang memberikan informasi luasan dan bentuk lahan atau nomor identifikasi bidang untuk tanah yang telah bersertipikat, titik atau garis)

·   kebutuhan luas lahan kegiatan Pemanfaatan Ruang

·   informasi penguasaan tanah

·   informasi jenis kegiatan

·   rencana jumlah lantai bangunan (diperlukan dalam hal akan dilakukan pembangunan gedung pada pelaksanaan rencana Pemanfaatan Ruang)

·   rencana luas lantai bangunan (diperlukan dalam hal akan dilakukan pembangunan gedung pada pelaksanaan rencana Pemanfaatan Ruang)

·   dokumen prastudi kelayakan kegiatan Pemanfaatan Ruang

·   rencana teknis bangunan dan/atau rencana induk kawasan.

Setelah persyaratan permohonan telah diterima secara lengkap, Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang menerbitkan surat perintah setor kepada pemohon untuk pembayaran biaya layanan. Apabila persyaratan permohonan belum lengkap, Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang mengembalikan dokumen permohonan pendaftaran kepada pemohon. Pemohon membayar biaya layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setelah membayar biaya layanan, pemohon menyampaikan bukti pembayaran kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang.

b. Penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terhadap RTR, RZ KAW, dan RZ KSNT

Penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui kajian yang mempertimbangkan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Penilaian dokumen kegiatan Pemanfaatan Ruang melalui kajian dilakukan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang. Dalam melakukan kajian, Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang dapat melibatkan Forum Penataan Ruang. Hasil kajian tidak mengurangi kewenangan Menteri dalam menerbitkan RKKPR. Apabila diperlukan, peninjauan lapangan dapat dilakukan untuk penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang.

c. Penerbitan RKKPR

Penerbitan RKKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional diberikan dengan memperhatikan pertimbangan teknis pertanahan. Pertimbangan teknis pertanahan terkait lokasi kegiatan dilaksanakan oleh kantor pertanahan. Kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Tata  Ruang  paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak diterima. Apabila kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan dalam jangka waktunya, kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan pertimbangan teknis pertanahan. Berdasarkan kajian dan pertimbangan teknis pertanahan, Menteri menerbitkan RKKPR, berupa keputusan:

o   disetujui (disetujui seluruhnya atau disetujui sebagian)

o   ditolak dengan disertai alasan penolakan.

Penerbitan RKKPR paling sedikit memuat:

o   lokasi kegiatan;

o   jenis peruntukan Pemanfaatan Ruang;

o   koefisien dasar bangunan;

o   koefisien lantai bangunan;

o   informasi indikasi program KKPR yang diajukan tidak memiliki kesamaan Pemanfaatan Ruang terkait; dan

o   persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Penerbitan RKKPR dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak persyaratan permohonan telah diterima secara lengkap dan pembayaran penerimaan negara bukan pajak diterima. RKKPR berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan.


DAFTAR PUSTAKA


Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021

Senin, 09 Mei 2022

Perolehan Tanah dalam Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk Kegiatan Nonberusaha


KKPR untuk kegiatan nonberusaha diterbitkan untuk pemohon yang telah memperoleh tanah atau untuk pemohon yang belum memperoleh tanah untuk kegiatannya. KKPR untuk kegiatan nonberusaha menjadi dasar dalam administrasi pertanahan untuk tanah yang diperoleh dalam pelaksanaan KKPR. KKPR untuk kegiatan nonberusaha yang belum memperoleh tanah merupakan kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak bersifat strategis nasional yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Dalam hal pemohon KKPR untuk kegiatan nonberusaha belum memperoleh tanah untuk kegiatannya, KKPR  berlaku  untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.

Apabila pemohon KKPR untuk kegiatan nonberusaha telah memperoleh tanah untuk kegiatannya, masa berlaku KKPR mengikuti jangka waktu penguasaan atas tanah yang telah diperoleh oleh pemohon serta sesuai dengan luas tanah yang telah diperoleh dan disetujui dalam KKPR. Dalam hal masa berlaku KKPR untuk kegiatan nonberusaha telah habis dan proses perolehan tanah belum selesai, KKPR diperpanjang secara otomatis sesuai jangka waktu perencanaan pada dokumen rencana pengadaan tanah.

Terhadap lokasi yang telah diterbitkan KKPR kegiatan nonberusaha untuk pemohon yang belum memperoleh tanah dapat diajukan permohonan KKPR oleh pemilik tanah; dan/atau pemohon KKPR kegiatan nonberusaha di ruang bawah tanah atau ruang atas tanah. Permohonan KKPR dilakukan dengan ketentuan sesuai dengan informasi penguasaan tanah sebagaimana dimuat dalam pertimbangan teknis pertanahan; dan KKPR yang diajukan tidak melebihi luas tanah yang dimilikinya. Permohonan KKPR dilakukan sesuai dengan informasi penguasaan tanah sebagaimana dimuat dalam pertimbangan teknis pertanahan.

Setelah diterbitkannya KKPR yang belum memperoleh tanah, pemegang KKPR harus membebaskan tanah dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang KKPR semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui haknya, termasuk kewenangan yang menurut hukum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertipikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain.

Kewenangan untuk mengalihkan hak kepada pihak lain dilaksanakan pada lokasi yang telah ditetapkan KKPR berdasarkan iktikad baik, yang diprioritaskan kepada pemegang KKPR dan/atau Bank Tanah berdasarkan kerja sama dengan pemegang KKPR.

Pemegang KKPR wajib menghormati  kepentingan pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan, tidak  menutup atau mengurangi aksesibilitas masyarakat di sekitar lokasi, dan menjaga serta melindungi kepentingan umum. Pemegang KKPR wajib melaporkan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada kepala kantor pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakan berdasarkan KKPR dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut. Tanah yang telah diperoleh dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun masa berlaku KKPR wajib didaftarkan kepada kantor pertanahan paling lambat 1 (satu) tahun setelah berakhirnya KKPR. Kantor pertanahan melakukan pengecekan berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan terhadap pelaksanaan perolehan tanah oleh pemegang KKPR

Pemutakhiran KKPR dilakukan dalam hal:

  • pemohon belum dapat menyelesaikan perolehan tanah dan tidak mengajukan permohonan perpanjangan KKPR;
  • pemohon telah memperoleh perpanjangan KKPR, tetapi belum dapat menyelesaikan perolehan tanah sesuai dengan perpanjangan KKPR yang diterbitkan; atau
  • terjadi perubahan pemegang KKPR akibat perbuatan hukum.

Dalam rangka penyesuaian masa berlaku KKPR dengan hak atas tanah yang diperoleh, pemohon melakukan pemutakhiran KKPR untuk kegiatan nonberusaha berdasarkan status pendaftaran tanah dengan menyampaikan laporan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang. Terhadap hasil pemutakhiran KKPR untuk kegiatan nonberusaha, sistem elektronik akan menerbitkan KKPR untuk kegiatan nonberusaha dengan jangka waktu dan luasan tanah sesuai penguasaan atas tanah yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

Permen ATR/BPN Nomor 13 tahun 2021


TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN