Selasa, 04 Januari 2022

Sejarah Reforma Agraria

Sejarah Reforma Agraria

Agraria sering dimaknai sebatas pertanian saja, bahkan lebih sempit lagi tanah pertanian, secara etimologi kata agraria berasal dari bahasa Latin “ager” (lapangan, pedusunan, wilayah, tanah negara).  Mirip dengan kata itu adalah “agger” (tanggul penahan, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, bukit). Dari pengertian itu jelas bahwa istilah “agraria” mencakupi  bukan saja tanah atau pertanian melainkan juga hal-hal yang lebih luas (pedusunan, wilayah, bukit) dimana terdapat tanaman, air, sungai, hewan, mineral dan bahan tambang (mine) dan komunitas manusia.  

I. Yunani kuno

Reforma agraria muncul pertama kalinya di Yunani Kuno, muncul ketika Pemerintahan Solon (594 SM),  Solon adalah tokoh yang berusaha membentuk pemerintahan demokrasi, walaupun dianggap gagal. Setelah kurang lebih 90 tahun kemudian, tepatnya 508 SM Cleisthenes seorang demokrat berhasil membentuk pemerintah oleh rakyat, yang menjadikan Athena dianggap sebagai negara demokrasi yang pertama di dunia

Solon berupaya membentuk pemerintah demokrasi dan berhasil melahirkan undang-undang yang dikenal dengan Siesachtheia (mengocok beban), beban yang dimaksud meliputi berbagai hubungan yang tidak serasi atau tidak adil antara pemerintah dengan para penguasa wilayah, antara para penguasa wilayah dengan para pengguna bagian-bagian dari wilayah, antara para pengguna tanah dengan para pekerja (penggarap) tanah, antara pemilik ternak dengan para pekerja (penggembala) dan sebagainya. Hubungan yang tidak serasi itu antara lain pembagian keuntungan hasil kerja, pajak, perburuhan dan lain-lainnya. Undang undang ini bertujuan untuk membebaskan para hektamor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari hutang sekaligus membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian. 

Melalui proses panjang (kurang lebih 200 tahun), dalam  masyarakat pedesaan di Yunani terjadi proses perbudakan. Karena tuntutan keadaan  negara yaitu peningkatan produksi dan penggunaan uang, para petani kecil terpaksa meminjam uang kepada yang kaya dengan cara menggadaikan tanahnya. Kemudian, agar bisa mengembalikan hutangnya dan menebus tanahnya, si penggadai itu lalu bekerja sebagai penyakap di tanah gadaian itu (bekas tanahnya sendiri), dengan bagi hasil sebesar seperenam. Hubungan kerja ini disebut hektemoroi. Orangnya yaitu petani miskin yang menjadi penyakap itu disebut hektemor. Karena ternyata dengan pendapatan sebesar itu mereka tidak mampu menebus kembali tanahnya atau mengembalikan hutangnya, lama kelamaan mereka menjadi seperti budak.

Ketika kondisi hektemor semakin parah, timbul gejala bahwa mereka akan berontak. Para petani kaya mendesak kepada Solon agar mencegah jangan sampai terjadi pemberontakan. Sebaliknya para hektemor mengharap agar keluhan mereka tentang berat beban hutang itu didengar. Sementara itu, masyarakat umum juga mengharap agar Solon tetap menjaga stabilitas, jangan sampai terjadi revolusi. Solon berusaha mengakomodasi semua kepentingan yang berbeda itu.

Undang-undang baru itu tidak sepenuhnya memuaskan semua pihak. Pihak yang kaya kecewa, karena hutang para hektemor itu di-”pusokan”, disis lain para hektemor kecewa karena meskipun dibebaskan dari hutang, dan  statusnya direhabilitasi (tidak lagi sebagai budak), tetapi tanahnya tidak kembali, karena tidak ada program redistribusi. Tanah tersebut memang  dibebaskan, tetapi tidak ada catatan  sejarah yang jelas, ke mana tanah tersebut diperuntukkan. Masyarakat umum  juga kecewa, karena meskipun pemberontakan dapat dihindarkan namun stabilitas politik terganggu, dan akhirnya pemerintahan Solon pun jatuh.

Tiga puluh tahun kemudian, Pisistratus, seorang pemimpin baru, melanjutkan usaha Solon melakukan Reforma Agraria dengan cara yang lebih maju, yaitu melalui program redis- tribusi: land-to-the-tiller dan land-to-thelandless. Petani kecil juga diberi fasilitas perkreditan. Jangka waktu pelaksanaan undang- undang Pisistratus in tidak jelas tercatat dalam sejarah. Pemerintahan Demokratis yang dirintis Solon gagal, karena sesudah pemerintahan Pisistratus yang lahir justru diktator-diktator yang saling menjatuhkan, dan barulah setelah Cleisthenes berkuasa (sekitar 508 SM) terbentuk suatu pemerintahan demokratis. 

II. Romawi Kuno

Pada waktu pemerintahan romawi keturunan para pendiri negara (disebut dengan patricia / bangsawan) berusaha mempertahankan hak turun-temurun atas wilayah-wilayah tertentu yang sejak dulu telah dimanfaatkan oleh leluhur mereka. Pemerintahan Romawi berkembang antara lain melalui penaklukan wilayah sekitarnya sehingga wilayahnya semakin luas, dampaknya muncul klas sosial baru, yakni para warga negara baru yang bukan orang asli Romawi, ini disebut plebian.  Kaum  plebian membutuhkan sumber kehidupan baru terutama tanah,  karena hal ini Spurius Cassius, seorang anggota konsul, memprakarsai lahirnya undang-undang agraria (Leges Agrariae) pertama kalinya di republik Romawi 489 SM. Sebagian besar kaum patricia menentang keras undang-undang ini.

Kurang lebih dua puluh tahun kemudian lahirlah undang-undang agraria baru yang diprakarsai oleh Licinius Stolo, terjadi perdebatan selama lima tahun sebelum undang-undang baru ini disahkan. Undang-undang ini menetapkan bahwa setiap warga negara Romawi memperoleh hak memanfaatkan sebagian dari wilayah negara seluas tidak lebih dari lima ratus iugera (lebih kurang 130 Ha). Hamparan  tanah seluas itu bukan berupa satuan usaha tani saja melainkan bisa terdiri atas hutan perburuan, padang penggembalaan ternak dan sebagainya.  

Pelaksanaan undang-undang Licinius tidak berlangsung mulus, antara lain karena peperangan dengan Yunani dan Prancis.  Kesempatan ini digunakan oleh kaum patricia, orang-orang  kaya, militer dan para veteran perang untuk menguasai tanah-tanah luas melebihi batas lima ratus iugera.  Hal ini menyebabkan terjadinya proses akumulasi penguasaan wilayah oleh kelompok-kelompok elite, ini berlangsung selama hampir dua abad.

Sesudah hampir dua ratus tahun  undang-undang Licinius seakan-akan masuk dalam peti es, Tiberius Gracchus, seorang anggota parlemen berhasil memperjuangkan lahirnya undang-undang agraria baru yang bertujuan menyelaraskan kembali ketentuan-ketentuan dalam undang-undang sebelumnya, yakni ditetapkan batas maksimum lima ratus iugera.  Selain itu ditambahkan bahwa setiap anak lelaki dewasa dalam keluarga diperbolehkan menguasai dua ratus lima puluh iugera sepanjang total penguasaan dalam satu keluarga tidak melebihi seribu iugera. Tapi undang-undang baru ini juga tidak terlaksana, bahkan Tiberius dibunuh.  Sepuluh tahun kemudian adiknya, Gaius Gracchus, berusaha melanjutkan langkah pembaruan sang kakak, namun diapun dibunuh juga. 

III. Inggris

Di Inggris muncul gerakan “enclosure movement” yaitu proses pengaplingan tanah-tanah pertanian dan padang pengembalaan yang dulunya adalah tanah yang disewakan oleh  umum, menjadi tanah-tanah individual.

 

IV.  Prancis

Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat Revolusi Perancis (1789) dengan  menghancurkan sistem penguasaan tanah feodal.Tanah dibagikan kepada petani dengan tujuan utamanya adalah membebaskan petani dari perbudakan dan melembagakan usaha tani keluarga yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal. Gerakan ini berpengaruh luas ke seluruh Eropa. Pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan (tenancy).

V. Bulgaria

Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh, mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani. 

VI. Rusia

Pada tahun 1906-1911 di Rusia lahir pembaharuan gaya baru yang dikenal dengan Stolypin Reform. Ciri dari gerakan ini adalah menghapus tanah kepemilikan pribadi, melarang (sewa, bagi hasil, gadai), hak dan luas garapan di sesuaikan dengan kemampuan petani dan melarang mengunakan buruh upahan. Lenin kemudian mencetuskan istilah landreform dan banyak di adopsi dan digunakan di negara komunis atau Blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller” (tanah ke penggarap) gunanya untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis.

VII. Cina

Kemudian reforma agraria menjangkau  Cina melalui 3 (tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah menata kembali struktur penguasaan tanah. Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi milik Negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut. Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan tabungan perdesaan.

VIII. Pasca PD II

Pasca perang dunia II reforma agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Pada tahun 1950-1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing-masing negara memiliki cirinya masing-masing. Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika.

Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an. Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih, program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan tanah.

Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan pembangunannya. Namun demikian, tidak semua negara berhasil melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.

Pada bulan Juli 1979 dilaksanakan konferensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma. Konferensi ini menjadi tonggak penting karena menghasilkan deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants’ charter/Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia, serta reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.

 

DAFTAR PUSTAKA

Oswar Mungkasa (2014).Reforma Agraria Sejarah, Konsep dan Implementasinya. Buletin Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

 https://akar.or.id/pengantar-politik-agraria-memahami-peta-jalan-menuju-keadilan-agraria/

https://binadesa.org/konsep-umum-istilah-dan-sejarah-reforma-agraria-1/

https://123dok.com/article/tonggak-tonggak-sejarah-reforma-agraria-perjalanan-berakhir.zkxjo94y

 

Selasa, 28 Desember 2021

KEWAJIBAN DAN LARANGAN PENERIMA TANAH OBJEK REFORMA AGRARIA

 

Subjek Reforma Agraria wajib menggunakan, mengusahakan dan memanfaatkan sendiri tanahnya dan menaati ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai sifat dan tujuan pemberian hak serta rencana tata ruang.

Dalam hal TORA diperoleh melalui redistribusi tanah oleh Subjek Reforma Agraria, diberikan kewajiban tambahan berupa memelihara kesuburan dan produktivitas tanah, melindungi dan melestarikan sumber daya di atas serta menggunakan tanah sesuai dengan kemampuan tanah.

Subjek Reforma Agraria dilarang menelantarkan TORA. Dalam hal Subjek Reforma Agraria mengalihkan hak atas TORA; atau mengalihfungsikan TORA, wajib mendapatkan izin Menteri melalui kepala kantor pertanahan setempat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan hak atau pengalihfungsian TORA diatur dengan Peraturan Menteri.

Kewajiban dan larangan dicantumkan dalam surat keputusan pemberian hak, buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang diberikan kepada penerima TORA. Penerima TORA menyatakan kesanggupan memenuhi kewajiban dan/atau larangan sebagaimana dimaksud dengan surat pernyataan yang menjadi pertimbangan dalam surat keputusan pemberian hak atas TORA.

                                                      DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria

KELEMBAGAAN REFORMA AGRARIA

 

Dalam rangka penyelenggaraan Reforma Agraria dibentuk Tim Reforma Agraria Nasional. Tim Reforma Agraria Nasional  mempunyai tugas sebagai berikut:

a. menetapkan kebijakan dan rencana Reforma Agraria

b. melakukan koordinasi dan penyelesaian kendala dalam penyelenggaraan Reforma Agraria

c. melakukan pengawasan serta pelaporan pelaksanaan Reforma Agraria

Tim Reforma Agraria Nasional secara administratif berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tim Reforma Agraria Nasional dalam pelaksanaan tugas dapat melibatkan, bekerja sama, dan/atau berkoordinasi dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi, dan/atau pemangku kepentingan. Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas Tim Reforma Agraria Nasional dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria. Gugus Tugas Reforma Agraria terdiri atas:

a. Gugus Tugas Reforma Agraria Pusat;

Gugus Tugas Reforma Agraria Pusat mempunyai tugas sebagai berikut:

·         mengoordinasikan penyediaan TORA dalam rangka Penataan Aset di tingkat pusat;

·         mengoordinasikan pelaksanaan penataan Akses di tingkat pusat;

·         Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi; dan

·         Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten/Kota.

·         mengoordinasikan integrasi pelaksanaan Penataan Aset dan Penataan Akses di tingkat pusat;

·    menyampaikan laporan hasil Reforma Agraria nasional kepada Tim Reforma Agraria Nasional;

·         mengoordinasikan dan memfasilitasi penanganan Sengketa dan Konflik Agraria; dan

·         melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas

b. Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi

Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi mempunyai tugas sebagai berikut:

·         mengoordinasikan penyediaan TORA dalam rangka Penataan Aset di tingkat provinsi;

·         memfasilitasi pelaksanaan Penataan Akses di tingkat provinsi;

·   mengoordinasikan integrasi pelaksanaan Penataan Aset dan Penataan Akses di tingkat provinsi;

·         memperkuat kapasitas pelaksanaan Reforma Agraria di tingkat provinsi;

·      menyampaikan laporan hasil Reforma Agraria Provinsi kepada Gugus Tugas Reforma Agraria Pusat;

·    mengoordinasikan dan memfasilitasi penanganan Sengketa dan Konflik Agraria di tingkat provinsi;

·  melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten/Kota.

c. Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten/Kota

 Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten/Kota mempunyai tugas sebagai berikut:

·        mengoordinasikan penyediaan TORA dalam rangka Penataan Aset di tingkat kabupaten/kota;

·   memberikan usulan dan rekomendasi tanah-tanah untuk ditegaskan sebagai tanah negara sekaligus ditetapkan sebagai TORA kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri;

·         melaksanakan penataan penguasaan dan pemilikan TORA;

·         mewujudkan kepastian hukum dan legalisasi hak atas TORA;

·         melaksanakan Penataan Akses;

·  melaksanakan integrasi pelaksanaan Penataan Aset dan Penataan Akses di tingkat kabupaten/kota;

·         memperkuat kapasitas pelaksanaan Reforma Agraria di tingkat kabupaten/kota;

·      menyampaikan laporan hasil Reforma Agraria Kabupaten/Kota kepada Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi;

·     mengoordinasikan dan memfasilitasi penyelesaian Sengketa dan Konflik Agraria di tingkat kabupaten/kota; dan

·         melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan legalisasi aset dan redistribusi tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria

Senin, 27 Desember 2021

REFORMA AGRARIA (Berdasarkan Perpres 86 Tahun 2018)

 

Reforma Agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Penataan Aset adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah. Penataan Akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada Subjek Reforma Agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat.

Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi. Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah dan tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat, tanah wakaf, barang milik negara/daerah/desa atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, dan tanah yang telah ada penguasaan dan belum dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.

Reforma Agraria bertujuan untuk:

a. mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan;

b. menangani Sengketa dan Konflik Agraria;

c. menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;

d. menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan;

e. memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;

f. meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan

g. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan terhadap TORA melalui tahapan perencanaan Reforma Agraria dan pelaksanaan Reforma Agraria.Perencanaan Reforma Agraria meliputi:

a. perencanaan Penataan Aset terhadap penguasaan dan pemilikan TORA;

b. perencanaan terhadap Penataan Akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksi atas TORA;

c. perencanaan peningkatan kepastian hukum dan legalisasi atas TORA;

d. perencanaan penanganan Sengketa dan Konflik Agraria; dan

e. perencanaan kegiatan lain yang mendukung Reforma Agraria.

Perencanaan Reforma Agraria menjadi acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga dan rencana pembangunan daerah. Pelaksanaan Reforma Agraria dilaksanakan melalui tahapan Penataan Aset dan Penataan Akses. Penataan Aset menjadi dasar dilakukannya Penataan Akses. Penataan Aset terdiri atas redistribusi tanah atau legalisasi aset. Objek redistribusi tanah meliputi:

a. tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir;

b. tanah yang diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk menyerahkan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas bidang tanah HGU yang berubah menjadi HGB karena perubahan peruntukan rencana tata ruang;

c. tanah yang diperoleh dari kewajiban menyediakan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah Negara yang diberikan kepada pemegang HGU dalam proses pemberian, perpanjangan atau pembaruan haknya;

d. tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan negara dan/atau hasil perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai sumber TORA, meliputi:

1. tanah dalam kawasan hutan yang telah dilepaskan sesuai peraturan perundang undangan menjadi TORA; dan

2. tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Tanah Negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui Reforma Agraria;

f. tanah hasil penyelesaian Sengketa dan Konflik Agraria;

g. tanah bekas tambang yang berada di luar kawasan hutan;

h. tanah timbul;

i. tanah yang memenuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas tanah, meliputi:

1. tanah yang dihibahkan oleh perusahaan dalam bentuk tanggung jawab sosial dan/atau lingkungan;

2. tanah hasil konsolidasi yang subjeknya memenuhi kriteria Reforma Agraria;

3. sisa tanah sumbangan tanah untuk pembangunan dan tanah pengganti biaya pelaksanaan Konsolidasi Tanah yang telah disepakati untuk diberikan kepada pemerintah sebagai TORA; atau

4. Tanah Negara yang sudah dikuasai masyarakat.

j. tanah bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas eigendom yang luasnya lebih dari 10 (sepuluh) bauw yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi; dan

k. tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi tanah.

Redistribusi tanah atas objek seperti pada huruf a, huruf c, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i angka 4), huruf j, dan huruf k dilakukan melalui tahapan:

a. inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;

b. analisa data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah; dan

c. penetapan sebagai objek redistribusi tanah.

Redistribusi tanah atas objek sebagaimana huruf b, serta huruf i angka 1), angka 2) dan angka 3) dilakukan melalui tahapan:

a. inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;

b. analisa data fisik dan data yuridis bidang tanah;

c. pelepasan hak atas tanah atau garapan atas Tanah Negara; dan

d. penetapan sebagai objek redistribusi tanah.

Redistribusi tanah atas objek yang dari berasal pelepasan kawasan hutan negara dan/atau hasil perubahan batas kawasan hutan dilakukan setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan surat keputusan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan atau keputusan perubahan batas kawasan hutan. Dalam hal objek redistribusi tanah tercatat sebagai aset badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang telah digarap dan dikuasai oleh masyarakat, dapat ditetapkan sebagai objek redistribusi tanah setelah melalui tata cara penghapusan aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penetapan objek redistribusi tanah ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.

Objek redistribusi tanah yang telah ditetapkan meliputi Redistribusi tanah untuk pertanian dan Redistribusi tanah untuk non-pertanian. Objek redistribusi tanah untuk pertanian diredistribusi kepada Subjek Reforma Agraria dengan luasan paling besar 5 (lima) hektare sesuai dengan ketersediaan TORA. Objek redistribusi tanah untuk pertanian disertai dengan pemberian sertipikat hak milik atau Hak Kepemilikan Bersama.

Objek redistribusi tanah untuk non-pertanian diredistribusi kepada Subjek Reforma Agraria. Objek redistribusi tanah untuk non-pertanian disertai dengan pemberian sertipikat hak milik. Dalam hal objek redistribusi tanah untuk non-pertanian yang memerlukan penataan maka dapat dilakukan melalui Konsolidasi Tanah disertai dengan pemberian sertipikat hak milik atau sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. Ketentuan lebih lanjut mengenai redistribusi tanah untuk non-pertanian diatur dengan Peraturan Menteri.

Objek redistribusi tanah yang telah ditetapkan digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan kemampuan tanah, kesesuaian lahan dan rencana tata ruang. Perubahan penggunaan dan pemanfaatan objek redistribusi tanah oleh Subjek Reforma Agraria, harus seizin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.

Subjek Reforma Agraria terdiri atas orang perseorangan, kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama atau badan hukum. Orang perseorangan  harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia;

b. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan

   c. bertempat tinggal di wilayah objek redistribusi tanah atau bersedia tinggal di wilayah objek redistribusi tanah.

Orang perseorangan mempunyai pekerjaan:

a. petani gurem yang memiliki luas tanah 0,25 (nol koma dua lima) hektare atau lebih kecil dan/atau petani yang menyewa tanah yang luasannya tidak lebih dari 2 (dua) hektare untuk diusahakan di bidang pertanian sebagai sumber kehidupannya;

b. petani penggarap yang mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah yang bukan miliknya;

c. buruh tani yang mengerjakan atau mengusahakan tanah orang lain dengan mendapat upah;

d. nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) Gross Tonnage (GT);

e. nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal;

f. nelayan buruh yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkapan ikan;

g. pembudi daya ikan kecil yang melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari;

h. penggarap lahan budi daya yang menyediakan tenaganya dalam pembudidayaan ikan;

i. petambak garam kecil yang melakukan usaha pergaraman pada lahannya sendiri dengan luas lahan paling luas 5 (lima) hektare, dan perebus garam;

j. penggarap tambak garam yang menyediakan tenaganya dalam usaha pergaraman;

k. guru honorer yang belum berstatus Pegawai Negeri Sipil, serta digaji secara sukarela atau per jam pelajaran, atau bahkan di bawah gaji minimum yang telah ditetapkan secara resmi, yang tidak memiliki tanah;

l. pekerja harian lepas yang melakukan pekerjaan tertentu yang dalam hal waktu, volume, dan upahnya didasarkan pada kehadiran, yang tidak memiliki tanah;

m. buruh yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, yang tidak memiliki tanah;

n. pedagang informal yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang atau jasa, dengan kemampuan modal yang terbatas yang dilakukan cenderung berpindah-pindah serta berlokasi di tempat umum, tidak mempunyai legalitas formal serta tidak memiliki tanah;

o. pekerja sektor informal yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah dan/atau imbalan dan tidak memiliki tanah;

p. pegawai tidak tetap yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi yang tidak memiliki tanah;

q. pegawai swasta dengan pendapatan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak memiliki tanah;

r. Pegawai Negeri Sipil paling tinggi golongan IIIa yang tidak memiliki tanah;

s. anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia berpangkat paling tinggi Letnan Dua/lnspektur Dua Polisi atau yang setingkat dan tidak memiliki tanah; atau

t. pekerjaan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama merupakan gabungan dari orang-perseorangan yang membentuk kelompok, berada dalam satu kawasan tertentu serta memenuhi persyaratan untuk diberikan objek redistribusi tanah.Sedangkan badan hukum yang dimaksud sebagai subjek penerima redistribusi tanah adalah berbentuk koperasi, perseroan terbatas, atau yayasan, yang dibentuk oleh Subjek Reforma Agraria orang perseorangan atau kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama atau badan usaha milik desa.

Objek legalisasi aset yang merupakan objek penataan aset meliputi tanah transmigrasi yang belum bersertipikat; dan tanah yang dimiliki masyarakat. Tanah transmigrasi yang belum bersertipikat harus memenuhi kriteria yaitu tidak termasuk dalam kawasan hutan atau telah diberikan hak pengelolaan untuk transmigrasi.

Dalam hal tanah transmigrasi yang belum bersertipikat termasuk dalam kawasan hutan, proses pelepasan atau perubahan batas kawasan hutannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, sedangkan kalau lahan tersebut belum memperoleh hak pengelolaan untuk transmigrasi maka legalisasi asetnya dilakukan setelah terbit keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk yang menyatakan bahwa pembinaannya telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota.

Objek legalisasi aset berupa tanah transmigrasi yang telah ditetapkan diberikan kepada Subjek Reforma Agraria melalui mekanisme:

a. sertipikasi tanah transmigrasi

Subjek Reforma Agraria merupakan orang perseorangan yang terdiri atas kepala keluarga beserta anggota keluarganya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. sertipikasi tanah yang dimiliki masyarakat.

Subjek Reforma Agraria terdiri atas:

  • orang perseorangan;

kriterianya adalah Warga Negara Indonesia; dan berusia paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah.

  • kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama; atau

Kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama merupakan gabungan dari orang-perseorangan yang membentuk kelompok, yang berada dalam satu kawasan tertentu serta memenuhi persyaratan untuk diberikan objek legalisasi aset.

  • badan hukum

Badan hukumnya berbentuk koperasi, perseroan terbatas, atau yayasan, yang dibentuk oleh Subjek Reforma Agraria dengan Hak Kepemilikan Bersama; atau badan usaha milik desa.

Penataan Akses

Penataan Akses dilaksanakan berbasis klaster dalam rangka meningkatkan skala ekonomi, nilai tambah serta mendorong inovasi kewirausahaan Subjek Reforma Agraria. Penataan Akses  meliputi:

a. pemetaan sosial;

Pemetaan sosial untuk mengetahui potensi, peluang, dan kendala yang dimiliki Subjek Reforma Agraria sebagai kelompok sasaran Penataan Akses.

b. peningkatan kapasitas kelembagaan;

Peningkatan kapasitas kelembagaan dilakukan melalui pembentukan kelompok sasaran Penataan Akses berdasarkan jenis usaha.

c. pendampingan usaha;

Pendampingan usaha dilakukan melalui kemitraan yang berkeadilan.

d. peningkatan keterampilan

Peningkatan keterampilan dilakukan melalui penyuluhan, pendidikan, pelatihan dan bimbingan teknis.

e. penggunaan teknologi tepat guna

dilakukan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga penelitian, serta kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah.

f. diversifikasi usaha

dilakukan dengan penganekaragaman jenis usaha untuk memaksimalkan upaya peningkatan kesejahteraan.

g. fasilitasi akses permodalan

Fasilitasi akses permodalan dilakukan oleh lembaga keuangan, koperasi dan badan usaha melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) .

h. fasilitasi akses pemasaran (offtaker)

Fasilitasi Akses permodalan dilakukan melalui penetapan kebijakan pemberian pinjaman kepada kelompok sasaran Penataan Akses dengan bunga rendah dengan jangka waktu panjang.

i. penguatan basis data dan informasi komoditas;

Fasilitasi akses pemasaran dilakukan dengan menampung dan menyalurkan hasil usaha kelompok sasaran Penataan Akses.

j. penyediaan infrastruktur pendukung.

Penguatan basis data dan informasi komoditas dilakukan dengan menyusun basis data Penataan Akses yang digunakan sebagai dasar pengawasan.

Penataan Akses dilaksanakan dengan pola:

a. pemberian langsung oleh pemerintah;

b. kerja sama antara masyarakat yang memiliki Sertipikat Hak Milik dengan badan hukum melalui program kemitraan yang berkeadilan; dan/atau

c. kerja sama antara kelompok masyarakat yang memiliki hak kepemilikan bersama dengan badan hukum melalui program tanah sebagai penyertaan modal.

Penataan Akses dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria. Dalam rangka mengoordinasikan pelaksanaan Penataan Akses, Gugus Tugas Reforma Agraria dapat menunjuk pendamping dan/atau mitra kerja Subjek Reforma Agraria.

DAFTAR PUSTAKA 

Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria


Minggu, 26 Desember 2021

Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota

 

   Penyusunan RDTR kabupaten/kota dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Penyusunan RDTR kabupaten/kota dapat mencakup kawasan dengan karakteristik perkotaan, karakteristik perdesaan, serta kawasan lintas kabupaten/kota. Kawasan dengan karakteristik perkotaan merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perkotaan.

            Kawasan dengan karakteristik perdesaan merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perdesaan. Kawasan lintas kabupaten/kota yang secara fungsional terdapat di lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota yang berbatasan, penyusunan RDTR dimaksud dilaksanakan secara terintegrasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota terkait. RDTR ditetapkan dengan peraturan kepala daerah kabupaten/ kota sesuai wilayah administrasinya. RDTR kabupaten/kota mengacu pada rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota. RDTR kabupaten/kota memperhatikan:

a. rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten/kota;

b. rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota;

c.perkembangan permasalahan wilayah serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten/kota;

d. optimasi pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;

e.kriteria pemanfaatan pulau-pulau kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

RDTR kabupaten/kota paling sedikit memuat:

a. tujuan penataan wilayah perencanaan;

b. rencana Struktur Ruang;

c. rencana Pola Ruang;

d. ketentuan Pemanfaatan Ruang; dan

e. peraturan zonasi.

RDTR kabupaten/kota menjadi acuan untuk:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupate/kota;

b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/ kota;

c. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang;

d. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan

e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.

RDTR kabupaten/kota dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1:5.000. Penyusunan RDTR kabupaten/kota  meliputi:

a. proses penyusunan RDTR kabupaten/kota;

b.pelibatan peran Masyarakat di tingkat kabupaten/kota dalam penyusunan RDTR kabupaten/kota; dan

c.pembahasan rancangan RDTR kabupaten/kota oleh Pemangku Kepentingan di tingkat kabupaten/kota.

            Proses penyusunan RDTR kabupaten/kota dilakukan melalui tahapan:

a. persiapan penyusunan meliputi:

1. penyusunan kerangka acuan kerja:

2. penentuan metodologi yang digunakan; dan

3. pemetaaan wilayah perencanaan RDTR.

b. pengumpulan data paling sedikit:

1. data wilayah administrasi;

2. data dan inforrnasi kependudukan;

3. data dan informasi bidang pertanahan;

4. data dan informasi kebencanaan; dan

5. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan.

c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

1. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

2. analisis keterkaitan antarwilayah kabupaten/kota; dan

3. analisis keterkaitan antarkomponen ruang kabupaten/kota.

d. perumusan konsepsi RDTR kabupaten/kota; dan

e. penyusunan rancangan peraturan tentang RDTR kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peta dasar yang dimaksud merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. Peta Rupabumi Indonesia merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. Khusus untuk wilayah administratif Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penyusunan RDTR dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi. Penyusunan RDTR mengacu pada rencana tata ruang wilayah provinsi.

Ketentuan mengenai penyusunan RDTR kabupatan/kota berlaku secara mutatis mutandis terhadap proses penyusunan RDTR. Penyusunan RDTR dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri. Menteri dan kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal wajib mengintegrasikan RDTR kabupaten/kota dalam bentuk digital ke dalam sistem OSS.

DAFTAR PUSTAKA

PP 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

TATA CARA PENETAPAN HAK PENGELOLAAN